BAB
PEMBAHASAN
A.
Urgensi Ilmu
Syariah
Beberapa waktu terakhir ini, kebutuhan akan ilmu keislaman khususnya
syariat Islam terasa sangat kuat. Sebab semakin hari umat ini semakin sadar
pentingnya syariat Islam untuk dijadikan landasan dalam kehidupan. Secara lebih
rinci, berikut ini adalah beberapa pandangan yang ikut mendorong pentingnya
kita mengusai syariah.
1. Mengenal Syariah : Bagian dari Identitas Ke-Islaman
Seseorang
Seorang muslim dengan seorang non muslim tidak dibedakan berdasarkan
KTP-nya. Juga bukan berdasarkan ras, darah, golongan, bahasa, kebangsaan atau
keturunan tertentu.Tetapi berdasarkan apa yang diketahuinya tentang ajaran
Islam serta diyakini kebenarannya.
Tidak mungkin seorang bisa dikatakan muslim manakala dia tidak mengenal
Allah SWT. Dan tidak-lah seseorang mengenal Allah SWT, manakala dia tidak
mengenal ajaran-Nya serta syariat yang telah diturunkan-Nya.
Sehingga mengetahui ilmu-ilmu syariat merupakan bagian tak terpisahkan
dari status keislaman seseorang. Maka sudah seharusnya seorang muslim menguasai
ilmu syariah, karena syariat itu merupakan penjabaran serta uraian dari
perintah Allah SWT kepada hamba-Nya
2. Allah SWT Mewajibkan Setiap Muslim Belajar Syariah
Mempejari Islam adalah kewajiban pertama setiap muslim yang sudah aqil
baligh. Ilmu-ilmu ke-Islaman yang utama adalah bagaimana mengetahui MAU-nya
Allah SWT terhadap diri kita. Dan itu adalah ilmu syariah. Allah SWT berfirman
:
...Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika
kamu tidak mengetahui (QS. An-Nahl : 43)
Paling tidak, setiap muslim wajib melakukan thaharah, shalat, puasa,
zakat dan bentuk ibadah ritual lainnya. Dan agar ibadah ritual itu bisa syah
dan diterima oleh Allah SWT, tidak boleh dilakukan dengan pendekatan
improvisasi atau sekedar menduga-duga semata. Harus ada dasar dan dalil yang
jelas dan kuat. Karena ibadah ritual itu tidak boleh dilakukan kecuali sesuai
dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Dan penjelasan secara rinci dan detail tentang bagaimana format dan
bentuk ibadah yang sesuai dengan apa yang diajarkan oleh beliau hanya ada dalam
syariat Islam.
3. Syariah Adalah Kunci Memahami Al-Quran &
As-Sunnah
Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Quran yang terdiri dari 6.600-an
ayat dan Al-Hadits yang berjumlah ratusan ribu hadits. Namun bagaimana
mengambil kesimpulan hukum atas suatu masalah dengan menggunakan dalil-dalil
yang sedemikian banyak, harus ada sebuah metodologi yang ilmiyah
Ilmu syariah telah berhasil menjelaskan dengan pasti dan tepat tiap
potong ayat dan hadits yang bertebaran. Dengan menguasai ilmu syariah, maka
Al-Quran dan As-Sunnah bisa dipahami dengan benar sebagaimana Rasulullah SAW
mengajarkannya.
Sebaliknya, tanpa penguasaan ilmu syariah, Al-Quran dan Sunnah bisa
diselewengkan dan dimanfaatkan dengan cara yang tidak benar. Ilmu Syariah
adalah kunci untuk memahami Al-Quran dan As-Sunnah dengan metode yang benar,
ilmiyah dan shahih.
Di dalam Al-Quran disebutkan bahwa pencuri harus dipotong tangannya,
pezina harus dirajam, pembunh harus diqishash dan seterusnya. Memang demikian
zahir nash ayat Al-Quran. Namun benarkah semua pencuri harus dipotong tangan ?
Apakah semua orang yang berzina harus dirajam ? Apakah semua orang yang
membunuh harus dibunuh juga ?
Di dalam Syariah Islam akan dijelaskan pencuri yang bagaimanakah yang
harus dipotong tangannya. Tidak semua orang yang mencuri harus dipotong tangan.
Ada sekian banyak persyaratan yang harus terpenuhi agar seorang pencuri bisa
dipotong tangan. Misalnya barang yang dicuri harus berada dalam penjagaan,
nilainya sudah memenuhi batas minimal, bukan milik umum dan lainnya. Bahkan
kriteria seorang pencuri tidak sama dengan pencopet, jambret, penipu atau
koruptor.
Demikian juga dengan pezina, tidak semua yang berzina harus dihukum
rajam. Selain hanya yang sudah pernah menikah, harus ada empat orang saksi
lakil-laki, akil, baligh, dan menyaksikan secara bersama di waktu dan tempat
yang sama melihat peristiwa masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan
perempuan. Tanpa hal itu, hukum rajam tidak boleh dilakukan. Kecuali bila
pezina itu sendiri yang menyatakan ikrar dan pengakuan atas zina yang
dilakukannya. Dan yang paling penting, hukum rajam haram dilakukan kecuali oleh
sebuah institusi hukum formal yang diakui dalam sebuah negara yang berdaulat.
Dan hal yang sama juga berlaku pada hukum qishash dan hukum-hukum hudud
lainnya. Sebuha tindakan hukum yang hanya berlandaskan kepada satu dua dalil
tapi tanpa kelengkapan ilmu syariah justru bertentangan dengan hukum Islam
sendiri.
4. Ilmu Syariah Adalah Porsi Terbesar Ajaran Islam
Dibandingkan dengan masalah aqidah, ahlaq atau pun bidang lainnya,
masalah syariah dan fiqih menempati porsi terbesar dalam khazanah ilmu-ilmu
ke-Islaman. Bahkan
yang disebut dengan `ulama` itu lebih identik sebagai orang yang ahli di
syariah ketimbang ahli di bidang lainnya.
Sehingga sebagai ilmu yang merupakan porsi terbesar dalam ajaran Islam,
ilmu syariah ini menjadi penting untuk dikuasai. Seorang muslim itu masih wajar
bila tidak menguasai ilmu tafsir, hadits, bahasa Arab, Ushul Fqih, Kaidah Ushul
dan lainnya. Tetapi khusus dalam ilmu syarriah khususnya fiqih, nyaris mustahil
bila tidak dikuasai, meski dalam porsi yang seadanya. Sebab tidak mungkin kita
bisa beribadah dengan benar tanpa menguasai ilmu fiqih ibadah itu sendiri.
Memang tidak semua detail ilmu syariah wajib dikuasai, namun untuk
bagian yang paling dasar seperti masalah thaharah, shalat, nikah dan lainnya,
mengetahui hukum-hukumnya adalah hal yang mutlak.
5. Tinginya Kedudukan Orang Yang Menguasai Syariah
Allah SWT telah meninggikan derajat orang yang memiliki ilmu syariah
dengan firman-Nya :
...Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Maidah : 11)
Sehingga tampuk kepemimpinan skala mikro dan makro menjadi hak para ahli
ilmu syariah. Seorang imam shalat diutamakan orang yang lebih mendalam
pemahamannya. (afqahuhum). Bukan yang lebih tua, sudah
menikah, lebih senior dalam struktur pergerakan, lebih tenar atau lebih
punya kepemiminan. Namun imam shalat hendaklah orang yang lebih faqih dalam
masalah agama.
Demikian juga hal yang terkait dengan kepemimpinan umat, yang lebih
layak diangkat adalah mereka yang lebih punya kepahaman terhadap syarait. Sejak
masa shahabat dan14 abad perjalanan umat, yang menjadi pemimpin umat ini adalah
orang-orang yang paham dan mengerti syariah. Paling tidak, para khalifah dalam
sejarah Islam selalu didampingi oleh ulama dan ahli syariah
6. Tidak Paham Syariah Adalah Akar Perpecahan
Para ulama syariah terbiasa berbeda pendapat, karena berbeda hasil
ijtihad sudah menjadi keniscayaan. Namun mereka sangat menghormati perbedaan
diantara mereka. Sehingga tidak saling mencaci, menjelekkan atau menafikan.
Sebaliknya, semakin awam seseorang terhadap ilmu syariah, biasanya akan
semakin tidak punya mental untuk berbeda pendapat. Sedikit perbedaan di
kalangan mereka sudah memungkinkan untuk terjadinya perpecahan, pertikaian,
bahkan saling menjelekkan satu sama lain.
Hal itu terjadi karena seseorang hanya berpegangan kepada dalil yang
sedikit dan parsial. Tetapi merasa sudah pandai dan paling benar sendiri.
Padahal dalil yang diyakininya paling benar itu masih harus berhadapan dengan
banyak dalil lainnya yang tidak kalah kuatnya. Jadi bagaimana mungkin dia
merasa paling benar sendiri ?
Paling tidak, dengan mempelajari ilmu syariah, kita jadi tahu bahwa
pendapat yang kita pegang ini bukanlah satu-satunya pendapat. Di luar sana,
masih ada pendapat lainnya yang tidak kalah kuatnya dan sama-sama bersumber
dari kitab dan sunnah juga. Maka kita jadi memahami perbandingan mazhab di
kalangan para fuqaha, sebab mereka memang punya kapasitas untuk melakukan
istimbath hukum dengan masing-masing menhaj / metodologinya
7. Keberadaan Ahli Syariah Sangat Menentukan
Eksistensi Umat Islam
Agama Islam telah dijamin tidak akan hilang dari muka bumi sampai
kiamat, namun tidak ada jaminan bila umatnya mengalami kemunduran dan
kejatuhan. Sejarah membuktikan bahwa mundurnya umat Islam terjadi manakala para
ulama telah wafat dan tidak ada lagi ahli syariah di tengah umat.
Sebaliknya, bila Allah SWT menghendaki kebaikan pada umat Islam, niscaya
akan dimulai dari lahirnya para ulama dan kembali manusia kepada syariat-Nya.
8. Tipu Daya Orientalis dan Sekuleris Sangat Efektif
Bila Lemah di Bidang Syariah
Racun pemikiran Orientalis dan Sekuleris tidak akan mempan bila tubuh
umat diimunisasi dengan pemahaman syariah
Bila tingkat pemahaman umat terhadap syariah lemah, maka dengan mudah pemikiran
orientalis akan merasuk dan menjangkiti fikrah umat. Sebaliknya, bila umat ini
punya tingkat pemahaman yang mendalam terdapat ilmu syariah, semua tipu daya
itu akan menjadi mentah.
Pemahaman syariat Islam akan menjadi filter atas kerusakan fikrah umat.
Sebaliknya, semakin awam dari syariat, umat ini akan semakin menjadi
bulan-bulanan pemikiran yang merusak.
9. Tanpa Ilmu Syariah Bisa Melahirkan Sikap Ekstrim
Membabi Buta
Sikap-sikap ekstrim dan keterlaluan dalam pelaksanaan agama seringkali
menimpa banyak umat Islam. Barangkali niatnya sudah baik, yaitu ingin
menjalankan ajaran agama. Tetapi bila semangat itu tidak diiringi dengan ilmu
syariah yang benar, sangatbesar kemungkinan terjadi kesalahan fatal yang
merugikan.
Dahulu di masa shahabat ada seorang yang terluka di kepala. Seharusnya
dia tidak boleh mandi karena parah sakitnya. Namun dia berjunub pada malamnya
dan pagi hari dia bertanya kepada temannya, apakah dia harus mandi atau tidak.
Temannya mengatakan bahwa dia harus mandi. Lalu mandilah dia dan tidak lama
kemudian meninggal. Betapa sedih Rasulullah SAW tatkala mendengar kabar itu.
Sebab teman yang memberi fatwa itu bertindak tanpa ilmu dan menyebabkan
kematian. Padahal seharusnya dalam kondisi demikian, cukuplah dengan
bertayammum saja. Maka dia sudah boleh shalat. Tidak wajib mandi junub meski
malamnya keluar mani.
10. Keharusan Ada Sebagian Dari Ummat Yang Mendalami
Syariah
Kalau kita bandingkan antara jumlah orang awam dan jumlah para ulama,
kita akan menemukan perbandingan yang jauh dari proporsional. Dengan kata lain,
ulama di masa sekarang ini termasuk `makhluk langka` bahkan nyaris punah.
Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan atas jasa mereka selama
ini, namun kenyataanya bahwa kebanyakan tokoh agama serta para penceramah yang
kita dapati masih minim dari penguasan secara mendetail dalam kisi-kisi ilmu
syariah. Tidak sedikit dari mereka yang sama sekali buta bahasa arab. Dan
otomatis rujukan satu-satunya hanya buku terjemahan saja. Bahkan ketika membaca
Al-Quran pun tidak paham maknanya. Apalagi membaca hadits-hadits nabawi. Dan
jangan ditanya bagaimana mereka bisa merujuk kepada kajian syariah Islam dari
para fuqaha sepanjang sejarah, karena nyaris semua literaturnya memang dalam
bahasa arab.
Lalu kita bisa pikirkan sendiri bagaimana kualitas umatnya bila para
tokoh agama pun masih dalam taraf yang kurang membahagiakan itu ?
Maka memperbanyak jumlah ulama serta menyebar-luaskan ilmu-ilmu syariah
menjadi hal yang mutlak dilakukan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT
tentang keharusan adanya sekelompok orang yang berkonsentrasi mendalami
ilmu-ilmu syariah.
Tidak sepatutnya bagi mu'minin itu pergi semuanya . Mengapa tidak pergi
dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan
1
kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya.(QS. At-Taubah : 122)
11. Masuk Islam Secara Kaaffah : Mustahil Tanpa
Syariah
Sebagai muslim yang baik, komitmen dan konsisten dalam memeluk agama
Islam, tentu kita tahu bahwa kita wajib menerima Islam secara kaaffah, tidak
sepotong-sepotong. Allah SWT telah memerintahkan hal dalam firman-Nya :
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu.(QS. Al-Baqarah : 208)
Tapi bagaimanakah kita bisa menjalankan Islam secara kaaffah, kalau kita
tidak bisa membedakan manakah diantara perbuatan itu yang termasuk bagian dari
Islam atau bukan ?
Sebab seringkali kita dihadapkan kepada bentuk-bentuk pengamalan yang
disinyalir sebagai islami, tetapi kita tidak tahu kedudukan yang sesungguhnya.
Katakanlah sebagai contoh mudah misalnya tentang memahami perbuatan Rasulullah
SAW. Apakah semua hal yang dilakukan oleh beliau itu menjadi bagian langsung
dari syariat agama ini ? Ataukah ada wilayah yang tidak termasuk bagian dari
syariat ?
Lebih rinci lagi, kita dapati dalam hadits bahwa Rasulullah SAW naik
unta, minum susu kambing mentah, istinja` dengan batu, khutbah memegang
tongkat, di rumahnya tidak ada wc dan seterusnya. Apakah hari ini kita wajib
melakukan hal yang sama dengan beliau sebagai pengejawantahan bahwa Rasululah
SAW adalah suri teladan ? Apakah kita juga harus naik unta ? Haruskah kita
minum susu kambing yang tidak dimasak dahulu ? Apakah para khatib wajib
berkhutbah sambil memegang tongkat ? Dan tegakah kita berintinja` hanya dengan
batu ? Dan haruskah kita buang air di alam terbuka, karena dahulu Rasulullah
SAW melakukannya ?
Tentu kita perlu merinci lebih detail, manakah dari semua perbuatan dan
perkataan beliau SAW yang menjadi bagian dari syariah dan mana yang secara
kebetulan menjadi hal-hal teknis yang tidak perlu dimasukkan ke dalam ajaran
agama ini. Dan untuk itu, harus ada sebuah metodologi yang bisa dijadikan
patokan. Metodologi itu adalah syariat Islam.
Dengan syariat Islam, kita bisa memilah dan menentukan manakah dari diri
Rasulullah SAW yang menjadi bagian dari ajaran Islam. Dan manakah yang bukan
termasuk ajaran selain hanya faktor kebetulan dan teknis semata.
B.
Pengertian Fiqih
Islam sebagai agama yang diturunkan Allah sebagai aqidah dan syariat
terakhir bagi manusia. Karenanya, Allah menjadikan syariat lengkap, utuh dan
konprehensif. Sehingga syariat yang tak lekang oleh jaman dan perubahan ini
patut menjadi pegangan hidup dan undang-undang serta rujukan hukum manusia
dimana pun dan kapan pun berada. Sebab di dalam syariat ini diciptakan
sedemikian rupa oleh Allah sehingga sesuai dengan kepentingan manusia dan
realitas yang dihadapi.
Fiqih Islam adalah ruh dan spirit yang selama 14 abad lamanya menjaga
bangunan syariat sehingga tetap utuh dan kokoh dalam kondisi apa pun. Disamping
itu, selama rentang tersebut Fiqih menjadi unsur penopang dan pendukung bagi
peradaban dan kemajuan ilmu pengetahun karena selalu sinkron dan selaras.
Untuk lebih mendalam, berikut uraian pengertian Fiqih Islam, karakter
khusus, sejarah dan hal lain yang terkait dengannya.
Pengertian
Fiqih Islam
1. Fiqih di fase pertama Islam
Makna fiqih secara bahasa adalah memahami. Seperti dalam ayat Al Quran
Allah menceritakan ucapan kaum Syuaib
“Mereka berkata: "Hai Syuaib, kami tidak banyak mengerti tentang
apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu
seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah
kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di
sisi kami” ( Hud: 91)
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun
kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh
kebaikan, mereka mengatakan: "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau
mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: "Ini (datangnya) dari
sisi kamu (Muhammad)".
Katakanlah: "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa
orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan
sedikit pun?” (An Nisa: 78)
Fiqih menurut orang Arab adalah pemahaman dan ilmu. Setelah Islam datang
nama fiqih digunakan untuk ilmu agama karena tingkat kemuliaannya dibanding
ilmu-ilmu lain. Jika kita temui istilah fiqih di masa generasi pertama Islam
maka yang dimaksud adalah ilmu agama, tidak lain. Sedang ilmu agama yang
dimaksud di masa itu adalah ilmu yang terkait dengan Al Quran dan Sunnah
Rasulullah saw.
Makna ini dapat kita temui dalam hadis Rasulullah saw. “Allah
mencerahkan wajah seseorang yang mendengar satu hadis dari kami, kemudian ia
hafalkan dan ia sampaikan kepada orang lain. Sebab ada orang yang membawa fiqih
(hadis) disampaikan kepada orang yang lebih faqiih (paham) darinya, dan ada
orang yang membawa fiqih tapi tidak faqiih,”
Jelas, bahwa yang dimaksud Rasulullah saw. dalam hadis di atas adalah
ilmu yang dibawah dan disampaikan adalah sabda beliau saw.
Jadi, yang dimaksud faqiih adalah orang memiliki ilmu yang mendalam
dalam agamanya dari teks-teks agama yang ada dan ia mampu menyimpulkan menjadi
hukum-hukum, pelajaran-pelajaran, faidah yang terkandung dalam teks agama
tersebut. Ini kesimpulan dari sabda Rasululullah di atas “Sebab ada orang yang
membawa fiqih (hadis) disampaikan kepada orang yang lebih faqih (paham) darinya,
dan ada orang yang membawa fiqih tapi tidak faqiih,” yang dimaksud “lebih faqih
(paham) darinya,” adalah ia lebih memiliki kemampuan memahami maksud Allah dan
hukum-hukum syariat. Dan maksud “tapi tidak faqiih” yang tidak memiliki
kemampun menyimpulkan hukum dan ilmu yang terkandung dalam teks agama yang ada.
Istilah ahli fiqih di kalangan sahabat dan tabiin adalah mereka yang
memiliki ilmu mendalam tentang agama Allah dan sunnah Rasulullah saw. Ciri luar
seorang ahli fiqih sangat seperti yang disebutkan dalam salah satu hadis
Rasulullah saw.”panjangnya shalat seseorang dan singkatnya khutbahnya adalah
bagian dari fiqihnya,” Juga perkataan
Ibnu Masud,”Termasuk fiqih seseorang, mengatakan tentang sesuatu yang
tidak ia ketahui; Allah lebih tahu,”
Jadi makna fiqih di masa pertama Islam mencakup seluruh masalah dalam
agama Islam, baik yang mencakup masalah akidah, ibadah, muamalat dan lain-lain.
Karenanya, Abu Hanifah menamai tulisannya tentang akidah dengan “Al Fiqhul
Akbar”.
2. Definisi Fiqih
Di depan telah disinggung definisi fiqih secara bahasa Arab. Dalam
istilah, Fiqih diartikan.
العلم بالأحكام الشرعية العلمية المكتسب من أدلتها التفصيلية
”Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan
nyata) yang diambil dari dalil-dalil secara rinci,”
Penjelasan definisi:
• Ilmu: ia merupakan ilmu yang memiliki obyek dan kaidah
tertentu.
• Hukum-hukum syariat: hukum-hukum ini bersifat syariat yang
diambil dari Al Quran, sunnah, ijma’, qiyas, bukan ilmu logika, matematika,
fisika.
• Amaliyah: fiqih hanya membahas hukum-hukum praktis (amaly)
perbuatan manusia dari masalah ibadah, muamalah. Jadi fiqih tidak membahas
masalah keyakinan atau ilmu kalam atau ilmu akidah.
22
• Yang diambil: fiqih adalah kesimpulan hukum-hukum bersifat baku
hasil ijtihad ulama yang bersumber dari Al Quran, sunnah, ijma, qiyas dan
dalil-dalil yang ada.
3. Obyek Pembahasan Fiqh
Fiqih merupakan hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia dengan
Penciptanya, Allah, antar manusia baik secara individu atau kelompok masyarakat
dan antar negara. Ulama kemudian membagi bidang garapan fiqih menjadi dua;
1. Bidang ibadah
2. Bidang mualamat.
Bidang ibadah bertujuan mendekatkan diri kepada Allah, seperti shalat,
puasa, zakat, haji, nadzar dan lain-lain. Sementara bidang muamalat bertujuan mengatur
hubungan dan kepentingan indifidu atau kelompok seperti jual beli, sewa
menyewa, menikah, talak, dan lain-lain.
Masing-masing bidang di atas memiliki ciri khusus yang membedakan dengan
lainnya. Misalnya, ulama menyebutkan bahwa bidang ibadah bersifat tauqifi,
artinya; tujuan, illat (alasan pensyariatan), dan hikmahnya utama pelaksaan
ibadah hanya diketahui oleh Allah, atau para ulama fiqih mengistilahkan ghairu
ma’qulatil ma’na (sesuatu yang tujuannya tidak bisa dinalar). Sementara bidang
kedua, yaitu muamalat, tujuan dan rahasia penysyariatannya bisa diketahui
dengan akal dan logika, atau lebih dikenal ma’qulatul ma’na. Karena, sebagian
ulama di masa tertentu
23
banyak menggunakan dalil aqli (dasar dari logika) dalam hal muamalat.
Obyek pembahasan ilmu fiqih adalah perbuatan mukallaf (orang yang
dibebani oleh syariat yaitu mereka yang berakal, baligh) yang berupa ibadah
atau muamalat.
4. Sejarah dan Keistimewaan Fiqh
Seperti yang diuraikan di atas, bahwa fiqih adalah ilmu yang membahas
bidang amali dalam syariat Islam. Syariat itu sendiri adalah tuntutan Allah
kepada untuk hamba-Nya baik melalui Al Quran atau Sunnah, baik dalam bentuk
keyakinan (akidah) atau mekanisme mendekatkan diri kepadanya dengan ibadah.
Fiqih sudah ada sejak zaman Rasulullah saw, masa sahabat dan seterusnya
hingga kini. Di zaman sahabat fiqih berkembang karena kebutuhan manusia untuk
mengetahui hukum-hukum syariat dari realitas yang mereka hadapi saat itu. Sejak
saat itu fiqih menjadi kebutuhan manusia hingga saat sekarang. Sebab setiap
manusia membutuhkan kepastian hukum dalam menyikapi kenyataan hidup mereka.
Sejak saat itu Fiqih menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar hingga sekarang.
Sehingga fiqih menjadi system yang mengatur hubungan antara manusia dengan
Allah dan antara manusia dengan manusia dan makhluk lainnya, setiap manusia
mengetahui hak dan kewajibannya, memenuhi hal-hal yang bermaslahat dan menolak
yang memadlaratkan.
Selama 14 abad Fiqih Islam menjadi referensi hukum dan akan berlangsung
hingga hari kiamat. Ini karena Fiqih
memiliki sifat universal dan konprehensip sebab syariat Islam merupakan
agama terakhir di bumi.
5. Beberapa Keistimewaan Fiqih Islam:
1. Sumber Fiqih adalah wahyu Allah.
Berbeda dengan undang-undang buatan manusia (ahkam wadl’i) yang
bersumber dari akal dan nalar manusia, fiqih bersumber dan berorientasi kepada
wahyu Allah, Al Quran dan Sunnah. Setiap mujtahid (ahli fiqih yang memiliki
kemampuan mengambil hukum dari sumber fiqih yang ada) terikat dengan Al Quran
dan sunnah. Bukan menuruti logikanya atau ilmu filsafat. Kesimpulan hukum yang
dihasilkan terkadang merupakan makna turunan secara langsung atau sesuai dengan
ruh syariat, atau tujuan umum dari syariat Islam.
Karena sumber fiqih adalah wahyu Allah maka ia sangat sesuai dengan
tuntutan manusia dan kebutuhan manusia secara keseluruhan. Sebab Allah adalah
Pencipta manusia yang mengetahui seluk beluk manusia itu sendiri baik yang
lahir atau yang batin.
Allah berfirman
“Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui ; dan Dia Maha Halus
lagi Maha Mengetahui?” (Al Mulk: 14)
Allah menciptakan syariat yang lengkap mengatur seluruh bidang kehidupan
manusia. Allah berfirman
25
“Diharamkan bagimu bangkai, darah , daging babi, yang disembelih atas
nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan
diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya , dan yang
disembelih untuk berhala. Dan mengundi nasib dengan anak panah , adalah
kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk agamamu, sebab
itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini
telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu
ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al
Maidah: 3)
Jika dibandingkan dengan undang-undang dan hukum yang dibuat manusia,
perbedaan antara keduanya sangat jauh, seperti bedanya antara Pencipta jagad
raya, Allah dengan makluknya yang kecil. Hukum yang dibuat manusia banyak
kelemahan dan keterbatasan karena ia produk akal manusia yang serba terbatas.
Akal manusia tidak mengetahui hakikat jiwa manusia dan kebutuhan dirinya sesuai
dengan fitrah penciptaan yang digariskan oleh Allah. Sehingga hasil pikiran
manusia banyak yang tidak sesuai dengan tabiat manusia itu sendiri.
Jalan satu-satunya adalah kembali kepada hukum yang diciptakan oleh
Allah, Tuhan Yang Maha Tahu tentang manusia.
2. Fiqih mencakup semua tuntutan kehidupan.
Dibanding dengan hukum-hukum lain, Fiqih memiliki keistimewaan bahwa ia
mencakup tiga hubungan manusia; hubungan manusia dengan Allah sebagai Tuhan
satu-satunya, hubungan dengan dirinya sendiri, dan hubungan
26
dengan masyarakat. Sebab fiqih ini adalah untuk kepentingan dunia dan
akhirat, kepentingan agama dan negara, dan untuk semua manusia hingga hari
kiamat. Hukum-hukum fiqih adalah perpaduan kekuatan antara akidah, ibadah,
akhlak, dan muamalat. Dari kesadaran jiwa, perasaan tanggung jawab, merasa
diawasi Allah dalam segala kondisi, penghargaan atas hak-hak maka lahirlah
sikap ridla, ketenangan, keimanan, kebagiaan, dan kehidupan individu social
yang teratur.
Hukum-hukum terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti
hukum-hukum shalat, puasa, dan lain-lain. Sebagian ahli fiqih menyatakan bahwa
jumlah ayat yang berkenaan dengan ibadah ini ada 140 ayat. Hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan dirinya, seperti apa yang boleh dia lakukan dan apa
yang tidak boleh dari makanan, minuman dan pakaian. Hal ini disyariatkan untuk
menjaga diri manusia; akal dan fisik. Untuk hubungan manusia dengan sesama
diatur dengan hukum-hukum muamalat dan uqubat (hukum pidana), seperti jual
beli, sewa-menyewa, nikah, qishash, hudud, ta’zir, peradilan, persaksian.
Untuk itu dalam fiqih ada dua bab besar dalam fiqih yaitu hukum-hukum
ibadah dan hukum-hukum mualat, seperti yan dijelas sebelumnya. Dengan demikian,
fiqih diciptakan untuk menjaga lima prinsip dasar manusia; yaitu akal, agama,
jiwa, agama, dan kehormatan. Maka fiqih sesungguhnya ingin mecetak manusia yang
religi, sehat akal, sehat jiwa, terhormat, suci hartanya.
Tambahan: 27
Hukum-hukum muamalat dibagi-bagi oleh ulama menjadi beberapa bab:
• Ahwal syakhsiyah:
yaitu yang terkait dengan keluarga, termasuk hukum-hukum pernikahan,
talak, nasab, nafkah, warisan. Hukum-hukum ini bertujuan mengatur hubungan
antara suami istri dan kekerabatan yang lebih dikenal dengan "hukum
perdata".
• Ahkam madaniyah
Hukum-hukum kemasyarakatan, yaitu terkait dengan transaksi personal
berupa jual beli, sewa menyewa, pergadaian, kafalah (asuransi), kerja sama,
hutan piutang, menepati janji. Hukum-hukum ini bertujuan mengatur hubungan
personal dari sisi harta dan keuangan sehingga hak-hak masing-masing terjaga.
• Ahkam jinaiyah
Hukum kriminalitas yang dilakukan oleh seseorang dan sanksi yang
dikenakan. Tujuan dari hukum ini adalah menjaga eksistensi kehidupan manusia,
harta, kehormatan dan hak-hak mereka, memberi kepastian hubungan antara korban
criminal dan pelaku criminal, dan menciptakan keamanan. Dalam Al Quran terdapat
sekitar 30 ayat terkait dengan hukum-hukum kriminalitas.
• Ahkam murafaat 28
hukum-hukum peradilan, tuntutan hukum, persaksian, sumpah, dan
lain-lain. Tujuannya adalah mengatur prosedur penegakan keadilan antara menusia
dengan syariat Islam. Dalam Al Quran terdapat sekitar 20 ayat yang berbicara
mengenai masalah ini.
• Ahkam dusturiyah
Hukum yang terkait dengan perundang-undang yang mengatur antara penguasa
dan rakyat dan menjelaskan hak dan kewajiban indifidu dan kelompok.
• Ahkam Dauliyah
Hukum-hukum yang mengatur hubungan negara Islam dengan negara lainnya
terkait dengan perdamaian dan perang, hubungan antara warga negara non muslim
dengan negara Islam yang ia tinggali, hukum-hukum jihad dan perjanjian.
Tujuannya agar tercipta kerja sama, saling menghormati antar satu negara dengan
lainnya.
• Ahkam Iqtishadiyah Wal Maaliyah
Hukum-hukum yang terkait dengan hak-hak indifidu terhadap harta benda
(kepemilikan), hak-hak dan kewajiban negara di bidang harta benda, pengaturan
sumber kekayaan negara dan anggaran-anggarannya. Tujuannya adalah mengatur
hubungan kepemilikan antara orang yang kaya dan miskin dan antara negara dengan
warga negara.
29
Ini mencakup harta benda negara, seperti harta rampasan, pajak, kekayaan
alam, harta zakat, sadakah, nazar, pinjaman, wasiat, laba perdagangan, harta
sewa menyewa, perusahaan, kaffarat, diyat dan lain-lain.
3. Fiqih memberikan konsep agama tentang halal haram.
Semua perbuatan, sikap dan tindakan social dalam fiqih selalu ada konsep
agama tentang halal haram. Dalam hal ini ada dua bentuk hukum muamalat:
a. Hukum duniawi yang diambil beradasarkan indikasi tindakan dan bukti
lahir dan tidak ada hubungannya dengan batin. Ini adakah hukum pengadilan;
karena seorang hakim memberikan vonis sesuai dengan bukti yang ada semampunya.
Vonis hakim ini tidak bisa mengubah sesuatu yang batil menjadi benar dan.
sebaliknya dalam realitas, tidak mengubah yang haram menjadi halal dan
sebaliknya. Vonis seorang hakim bersifat mengikat, berbeda dengan fatwah.
b. Hukum ukhrawi yang didasarkan kepada sesuatu yang sebenarnya (hakikat
sesuatu baik yang lahir atau batin. Hal ini berlaku antara seseorang dengan
Allah. Hukum inilah yang dijadikan dasar oleh seorang ahli fatwah; fatwah
adalah pemberian informasi tentang hukum syariat tanpa mengikat.
Kedua jenis hukum inilah yang ditegaskan dalam sebuah hadis Rasulullah
saw. yang diriwayatkan oleh Malik, Ahmad dan lainnya,”Sesungguhnya aku manusia.
Jika kalian bersengketa kepadaku, mungkin salah satu dari kalian lebih kuat
bukti dan alasannya dari yang lain, maka saya
30
menghukumi berdasarkan apa yang saya dengar. Jika saya memutuskan
sesuatu yang berpihak kepada seseorang dengan mengambil hak seorang muslim
secara tidak benar (tanpa saya ketahui) maka itu adalah potongan dari neraka.
Jika ia mau silahkan mengambil atau meninggalkannya.”
Hukum-hukum dunyawi semacam ini kebanyakan terkait dengan talak
(perceraian), sumpah, utang, pelepasan hak, pemaksaan. Misalnya, seseorang yang
secara tidak sengaja mencerai istrinya. Maka keputusan hakim adalah jatuh talak
sementara menurut hukum ukhrawi tidak jatuh talak.
4. Fiqih memiliki landasan kaidah yang paten dan fleksibel dalam
penerapan.
Landasan itu adalah Al Quran dan sunnah tertulis dengan rapi dan teliti.
Teks-teks di kedua sumber ini bersifat suci dan sacral yang mengandung
hukum-hukum global dan tidak terinci. Ini memungkinkan para ahli fiqih
melakukan ijtihad menyimpulkan hukum secara terinci sesuai dengan kondisi dan
realitas dilapangan. Namun demikian ada batasan yang selalu dijaga oleh para mujtahid.
Muncullah kemudian kaidah-kaidah fiqih yang dijadikan pegangan dalam
pengambilan hukum.
Nash-nask (teks) syariat, misalnya, tidak menyinggung system hukum
secara detail, tapi hanya memberikan garis besarnya seperti; menjamin keadilan
antar rakyat, taat kepada ulil amr (penguasa pemerintahan), konsep syura, kerja
sama dalam kebajikan dan ketakwaan dan seterusnya.
Penerapan garis-garis besar itu diserahkan kepada kondisi dan realitas
di lapangan. Yang terpenting adalah bagaimana
31
tujuannya tercapai terlepas dari sarana yang digunakan asal tidak
bertentangan dengan syariat.
5. Hukum-hukum fiqih tidak memberatkan.
Sebaliknya, fiqih memberikan kemudahan dan keringanan kepada manusia.
Islam hanya mewajibkan shalat lima kali sehari semalam. Jika tidak mampu
dilakukan dengan berdiri, boleh dilakukan dengan duduk, jika tidak mampu duduk,
maka dengan berbaring. Dan keringanan lain terkait dengan tayammum, shalat
qasar, jamak, qadla, dan lain-lain. Juga ada keringanan dalam puasa, zakat,
kaffarat (denda) akibat kesalahan yang dilakukan.
Allah berfirman:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” (Al Baqarah: 185)
dan ada ayat lain yang menegaskan hal ini.
Karenanya, Allah juga melarang kepada seseorang untuk menyakan sesuatu
yang menimbulkan hukum yang lebih berat.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang
jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di
waktu Al Qur'an itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
mema'afkan tentang
32
hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al Maidah: 101).
6. Fiqih adalah khazanah Islam yang luas.
Sepanjang sejarah, tidak ada referensi dan karangan yang sarat dengan
khazanah ilmu dan pemikiran melebihi fiqh. Di sana akan ditemui segala macam
pandangan ulama dari berbagai mazdhab dan aliran.
Dalam Ahli sunnah ada empat aliran fiqih besar dan masing-masing madzah
memiliki riwayat dan pendapat, baik yang disepakati atau yang dipersilihkan dan
setiap pandang memiliki alasan dan dalil. Setiap masalah dalam kehidupan
manusia seakan tak luput dari pembahasan fiqih dari masalah yang terkecil
hingga terbesar.
7. Fiqih selalu sesuai dengan perkembangan zaman.
Fiqih memiliki kaidah yang tidak akan berubah hingga akhir zaman,
seperti kaidah; transaksi harus dilakukan saling ridla, pemberian ganti rugi
jika ada kerusakan, pemberantasan criminal, pemeliharaan hak-hak, tanggung
jawab individu. Sementara fiqih yang didasarkan atas qiyas, masalahil mursalah,
dan adat istiadat bisa berubah sesuai dengan kebutuhan zaman dan kemaslahatan
manusia, dengan batasan yang tidak bertengangan dengan syariat.
33
Bab Kedua
Perkembangan Fiqh dan Madzhab
Rasulullah saw. tidak meninggalkan dunia ini, kecuali setelah bangunan
syariat Islam lengkap dengan nash yang tegas dan jelas. Allah SWT berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Maidah: 3)
Namun demikian Rasulullah saw. tidak meninggalkan “buku fiqh
tertulis” yang berisi hukum-hukum Islam baku. Namun beliau meninggalkan
sejumlah kaidah global, sebagian hukum-hukum juz’i (penggalan masalah), dan
hukum-hukum pengadilan yang ada di Al Quran dan Sunnah. Sebagian kecil dan
ringkas ini hampir mencukupi untuk menata hidup mereka. Namun (umat) Islam
berkembang dan memenuhi jazirah Arab dan sekitarnya. Mereka
35
menemukan realitas dan tradisi yang sebelumnya tidak di alami. Kondisi
ini menuntut ijtihad fiqh untuk meletakkan dasar-dasarnya (kaidah) untuk
mengaturnya sesuai dengan syariat Islam. Kaidah-kaidah yang kemudian disebut
kaidah fiqh itu merupakan nilai yang diambil dari Al Quran.
Kejadian dan peristiwa semakin berkembang seiring semakin bertambahnya
populasi umat Islam. Kebutuhan terhadap fiqh dan kaidah-kaidah umumnya pun
semakin meningkat. Terutama di negara dan wilayah baru yang dibuka oleh umat
Islam. Kian hari fiqh kian berkemang dari generasi ke generasi sehingga fiqh
menjadi disiplin ilmu tersendiri yang sangat luas dan sistematis.
Jika diteliti, fiqh sejak zaman Rasulullah hingga masa-masa berikutnya
melalui sejumlah fase pertumbuhan yang berbeda-beda dalam empat generasi atau
empat abad pertama (hijriyah).
Diawali dari penulisan (kodifikasi) fiqh madzhab, dilanjutkan syuruh
(penjelasan rinci), ihtisharat (ringkasan), penulisan matan (teks inti pendapat
seorang imam), mausuat (eksiklopedi) fiqh, penulisan kaidah fiqh, ashbah wan
nadlair (masalah-masalah yang memiliki kesamaan dan perbedaan dalam tinjauan
fiqh), fiqhul muqorin (fiqh perbandingan), nadlariyah fiqhiyah (teori fiqh),
hingga fiqh menjadi ketetapan undang-undang dan hukum Islam.
Berikut adalah fase-fase tersebut :
Fase I : 36
Masa Risalah dimulai dan diakhiri selama Rasulullah saw. hidup hingga
wafat. Di masa ini bangunan syariat dan agama telah sempurna.
Fase II :
Masa Khulafaur rashidin hingga pertengahan abad pertama hijriyah. Dua
fase I dan II adalah fase pengantar penulisan fiqh.
Fase III :
Diawali sejak pertengahan abad pertama hijriyah hingga awal abad kedua
hijriyah. Ilmu fiqh menjadi disiplin ilmu tersendiri. Di fase ini
sekolah-sekolah fiqh tumbuh pesat yang sesungguhnya adalah setiap sekolah itu
sebagai media bagi setiap madzhab fiqh. Fase ini bisa disebut sebagai fase peletakan
dasar bagi kodifikasi fiqh.
Fase IV :
Diawali dari pertengahan abad keempat hijriyah hingga pertengahan abad
empat hijriyah. Di fase ini fiqh telah sempurna terbentuk.
Fase V :
Diawali pertengahan abad lima hijriyah hingga jatuhnya Baghdad, ibu kota
daulah abbasiyah sebagai pusat ilmu dan peradaban Islam ke tangan Tartar di
pertengahan abad tujuh. Di fase ini fiqh mulai memasuki masa statis dan taqlid
dalam penulisan fiqh.
37
Fase VI :
Diawali dari pertengahan abad tujuh hijriyah hingga awal abad modern.
Fase ini adalah fase kelemahan dalam sistematika dan metodologi penulisan fiqh.
Fase VII :
diawali dari pertengahan abad 13 hijriyah hingga sekarang. Di fase ini
studi fiqh, terutama studi perbandingan fiqh berkembang.
Sekilas tentang ahli fiqh (fuqaha) madzhab
Al Faqiih, mufti atau mujtahid, adalah orang yang sudah memiliki
kemampuan mengambil kesimpulan hukum-hukum (istinbathul ahkam) dari
dalil-dalilnya. Sementara yang dimaksud madzhab, secara bahasa adalah tempat
pergi atau jalan. Secara istilah adalah pandangan seseorang atau kelompok
tentang hukum-hukum yang mencakup sejumlah masalah.
Benih madzhab muncul sejak masa sahabat. Sehingga dikenal ada madzhab
Aisyah, madzhab Abdullah bin Umar, madzhab Abdullah bin Masud. Di masa tabiin
juga terkenal tujuh ahli fiqh dari kota Madinah; Said bin Musayyib, Urwah bin
Zubair, Qasim bin Muhammad, Kharijah bin Zaid, Abu Bakr bin Abdullah bin Utbah
bin Masud, Sulaiman bin Yasar, Ubaid bin Abdillah, Nafi’ Maula Abdullah bin
Umar. Dari penduduk Kufah; Alqamah bin Masud, Ibrahim An Nakha’i, guru Hammad
bin Abi Sulaiman, guru Abu Hanifah. Dari penduduk Basrah; Hasan Al Basri.
38
Dari kalangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cukup terkenal; Ikrimah
Maula Ibnu Abbas dan Atha’ bin Abu Rabbah, Thawus bin Kiisan, Muhammad bin
Sirin, Al Aswad bin Yazid, Masruq bin Al A’raj, Alqamah An Nakha’i, Sya’by,
Syuraih, Said bin Jubair, Makhul Ad Dimasyqy, Abu Idris Al Khaulani.
Di awal abad II hingga pertengahan abad IV hijriyah yang merupakan fase
keemasan bagi itjihad fiqh, muncul 13 mujtahid yang madzhabnya dibukukan dan
diikuti pendapatnya. Mereka adalah Sufyan bin Uyainah dari Mekah, Malik bin
Anas di Madinah, Hasan Al Basri di Basrah, Abu Hanifah dan Sufyan Ats Tsury
(161 H) di Kufah, Al Auzai (157 H) di Syam, Syafii, Laits bin Sa’d di Mesir,
Ishaq bin Rahawaih di Naisabur, Abu Tsaur, Ahmad bin Hanbal, Daud Adz Dzhahiri
dan Ibnu Jarir At Thabary, keempatnya di Baghdad.
Namun kebanyakan madzhab di atas hanya tinggal di kitab dan buku-buku
seiring dengan wafatnya para pengikutnya. Sebagian madzhab lainnya masih tetap
terkenal dan bertahan hingga hari ini. Berikut adalah sekilas tentang
madzhab-madzhab tersebut:
1. Abu Hanifah.
Nama aslinya An Nu’man bin Tsabit (80-150 H); pendiri madzhab Hanafi. Ia
berasal dari Kufah dari keturunan bangsa Persia. Beliau hidup dalam dua masa,
Daulah Umaiyah dan Abbasiyah. Beliau termasuk pengikut Tabiin (tabi’utabiin),
sebagian ahli sejarah menyebutkan, ia bahkan termasuk Tabi’in. Beliau pernah
bertemu dengan Anas bin Malik (Sahabat) dan meriwayatkan hadis
terkenal,”Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim,”
39
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai terdepan dalam “ahlu ra’y”, ulama yang
baik dalam penggunaan logika sebagai dalil. Beliau adalah ahli fiqh dari
penduduk Irak. Di samping sebagai ulama fiqh, Abu Hanifah berprofesi sebagai
pedagang kain di Kufah. Tentang kredibelitasnya sebagai ahli fiqh, Imam Syafi’i
mengatakan,”Dalam fiqh, manusia bergantung kepada Abu Hanifah,”. Imam Abu
Hanifah menimba ilmu hadis dan fiqh dari banyak ulama terkenal. Untuk fiqh, selama
18 tahun beliau berguru kepada Hammad bin Abu Sulaiman, murid Ibrahim An
Nakha’i. Abu Hanifah sangat selektif dalam menerima hadis dan lebih banyak
menggunakan Qiyas dan Istihsan. Dasar madzhab Imam Abu Hanifah adalah; Al
Quran, As Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan. Dalam ilmu akidah Imam Abu Hanifah
memiliki buku berjudul “Kitabul fiqhul akbar” (fiqh terbesar; akidah).
Beberapa murid Imam Abu Hanifah yang terkenal:
• Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim dari Kufah (113 – 182 H). Beliu
menjadi hakim agung di masa Khalifah Harun Al Rasyid. Beliau juga sebagai
mujtahid mutlak (mujtahid yang menguasai seluruh disiplin ilmu fiqh).
• Muhammad bin Hasan Asy Syaibani (132 – 189 H). Lahir di
Damaskus (Syuriah) dan besar di Kufah dan menimbah ilmu di Baghdad. Pernah menimba
ilmu kepada Abu Hanifah, kemudian Abu Yusuf. Pernah menimba ilmu kepada Imam
Malik bin Anas. Ia juga termasuk mujtahid mutlak. Ia menulis kitab “dlahirur
riwayah” sebagai pegangan madzhab Abu Hanifah.
• Abu Hudzail Zufar bin Hudzail bin Qais (110 – 158 H) ia juga
sebagai mujtahid mutlak.
40
• Hasan bin Ziyad Al Lu’lu’iy ( w 204 H). Dalam urusan fiqh
beliau belum mencapai Abu Hanifah dan dua muridnya.
2. Malik bin Anas bin Abi Amir Al Ashbahi (93 – 179 H)
Beliau adalah pendiri madzhab Maliki. Beliau adalah Imam penduduk
Madinah dalam urusan fiqh dan hadis setelah Tabi’in. Beliau dilahirkan di masa
Khalifah Al Walid bin Abdul Malik dan meninggal di masa khalifah Al Rasyid di
Madinah. Beliau tidak pernah melakukan perjalanan keluar dari Madinah ke
wilayah lain. Sebagaimana Abu Hanifah, Imam Malik juga hidup dalam dua masa
pemerintahan Daulah Umawiyah dan Abbasiyah. Di masa dua Imam besar inilah,
kekuasaan pemerintahan Islam meluas hingga Samudra Pasifik di barat dan hingga
Cina di timur, bahkan ke jantung Eropa dengan dibukanya Andalusia.
Imam Malik berguru kepada ulama Madinah. Dalam jangka cukup panjang
beliau mulazamah (berguru langsung) kepada Abdur Rahman Hurmuz. Beliau juga
menimba ilmu kepada Nafi’ maula Ibnu Umar, Ibnu Syihab Az Zuhri. Guru fiqh
beliu adalah Rabiah bin Abdur Rahman.
Imam Malik adalah ahli hadis dan fiqh. Ia memiliki kitab “Al Muwattha’”
yang berisi hadis dan fiqh. Imam Syafi’i berkata tentangnya,”Malik adalah guru
besarku, darinya aku menimba ilmu, beliau adalah hujjah antaraku dan Allah. Tak
seorang pun yang lebih banyak memberi ilmu melebihi Malik. Jika disebut
ulama-ulama, maka Malik seperti bintang yang bersinar,”
41
Imam Malik membangun madzhabnya dengan 20 dasar; Al Quran, As Sunnah
(dengan lima rincian dari masing-masing Al Quran dan As Sunnah; tekstualitas,
pemahaman dlahir, lafadl umum, mafhum mukhalafah, mafhum muwafakah, tanbih alal
illah), Ijma’, Qiyas, Amal ahlul madinah (perbuatan penduduk Madinah),
perkataan sahabat, Istihsan, Saddudzarai’, muraatul khilaf, Istishab, maslahah
mursalah, syaru man qablana (syariat nabi terdahulu).
Murid Imam Malik tersebar di Mesir, utara Afrika, dan Andalus. Di antara
mereka adalah Abu Abdillah; Abdur Rahman bin Al Qasim (w 191 H) ia dikenal
murid paling mumpuni tentang madzhab Malik dan paling dipercaya. Ia juga yang
mentashih kitab pegangan madzhab ini “Al Mudawwnah”. Murid Imam Malik lainnya
adalah Abu Muhammad (125 – 197 H) ia menyebarkan madzhabnya di Mesir, Asyhab
bin Abdul Aziz, Abu Muhammad; Abdullah bin Abdul Hakam, Muhammad bin Abdullah
bon Abdul Hakam, Muhammad bin Ibrahim. Murid Imam Malik dari wilayah Maroko;
Abul Hasan; Ali bin Ziyad, Abu Abdillah, Asad bin Furat, Yahya bin Yahya,
Sahnun; Abdus Salam dll.
3. Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (150 – 204 H)
Beliau adalah pendiri madzhab Syafi’i. Dipanggil Abu Abdullah. Nama
aslinya Muhammad bin Idris. Nasab beliau bertemu dengan Rasulullah saw. pada
kakek beliau Abdu Manaf. Beliau dilahirkan di Gaza Palestina (Syam) tahun 150
H, tahun wafatnya Abu Hanifah dan wafat di Mesir tahun 203 H.
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu
membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam
keadaan
42
yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan
sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani
Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam
Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Di Mekah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin
Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia
15 tahun. Kemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik
bin Anas. Beliau mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya
dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail
bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan lain-lain.
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana.
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari
Muhammad bin Hasan. Beliau memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar
Rasyid.
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di
Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu
fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam
Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir
tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru (madzhab jadid). Di sana beliau wafat
sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H.
Salah satu karangannya adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul
fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i
adalah seorang
43
mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan
fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam
Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,”
“Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta (ilmu) melainkan Allah
memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus
sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu
lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah
(kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya
yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan
hidupnya saja masih kurang lengkap,”
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau tidak
mengambil perkataan sahabat karena dianggap sebagai ijtihad yang bisa salah.
Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu masalah) sebagai
dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam
Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah
menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah
nashirussunnah (pembela sunnah),”
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat
imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam
Syafi’i.
Sementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i
diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii
bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits
shahih bertentangan dengan perkataanku, maka ia (hadis)
44
adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
4. Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani (164 – 241 H)
Beliu adalah pendiri madzhab Hanbali. Beliau dipanggil Abu Abdillah.
Nama aslinya Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad Adz Dzhali Asy Syaibani.
Dilahirkan di Baghdad dan tumbuh besar di sana hingga meninggal pada bulan
Rabiul Awal. Beliau memiliki pengalaman perjalanan mencari ilmu di pusat-pusat
ilmu, seperti Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Yaman, Syam.
Beliau berguru kepada Imam Syafi’i ketika datang ke Baghdad sehingga
menjadi mujtahid mutlak mustaqil. Gurunya sangat hingga mencapai ratusan. Ia
menguasai sebuah hadis dan menghafalnya sehingga menjadi ahli hadis di jamannya
dengan berguru kepada Hasyim bin Basyir bin Abi Hazim Al Bukhari (104 – 183 H).
Imam Ahmad adalah seorang pakar hadis dan fiqh. Ibrahim Al Harbi berkata
tentangnya,”Saya melihat Ahmad seakan Allah menghimpun baginya ilmu orang-orang
terdahulu dan orang belakangan,” Imam Syafi’i berkata ketika melakukan
perjalanan ke Mesir,”Saya keluar dari Baghdad dan tidaklah saya tinggalkan di
sana orang yang paling bertakwa dan paling faqih melebihi Ibnu Hanbal (Imam
Ahmad),”
Di masa hidupnya, di zaman khalifah Al Makmum, Al Mu’tasim da Al Watsiq,
Imam Ahmad merasakan ujian siksaan dan penjara karena mempertahankan kebenaran
tentang “Al Quran kalamullah” (firman dan perkataan Allah), ia dipaksa untuk
mengubahnya bahwa Al Quran
45
adalah makhluk (ciptaan Allah). Namun beliau menghadapinya dengan
kesabaran membaja seperti para nabi. Ibnu Al Madani mengatakan,”Sesungguhnya
Allah memuliakan Islam dengan dua orang laki-laki; Abu Bakar di saat terjadi
peristiwa riddah (banyak orang murtad menyusul wafatnya Rasulullah saw.) dan
Ibnu Hambal di saat peristiwa ujian khalqul quran (ciptaan Allah),”. Bisyr Al
Hafi mengatakan,”Sesungguhnya Ahmad memiliki maqam para nabi,”
Dasar madzhab Ahmad adalah Al Quran, Sunnah, fatwah sahahabat, Ijam’,
Qiyas, Istishab, Maslahah mursalah, saddudzarai’.
Imam Ahmad tidak mengarang satu kitab pun tentang fiqhnya. Namun
pengikutnya yang membukukannya madzhabnya dari perkataan, perbuatan, jawaban
atas pertanyaan dan lain-lain. Namun beliau mengarang sebuah kitab hadis “Al
Musnad” yang memuat 40.000 lebih hadis. Beliau memiliki kukuatan hafalan yang
kuat. Imam Ahmad mengunakan hadis mursal dan hadis dlaif yang derajatnya
meningkat kepada hasan bukan hadis batil atau munkar.
Di antara murid Imam Ahmad adalah Salh bin Ahmad bin Hanbal (w 266 H)
anak terbesar Imam Ahmad, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (213 – 290 H). Shalih
bin Ahmad lebih menguasai fiqh dan Abdullah bin Ahmad lebih menguasai hadis.
Murid yang adalah Al Atsram dipanggil Abu Bakr dan nama aslinya; Ahmad bin
Muhammad (w 273 H), Abdul Malik bin Abdul Hamid bin Mihran (w 274 H), Abu Bakr
Al Khallal (w 311 H), Abul Qasim (w 334 H) yang terakhir ini memiliki banyak
karangan tentang fiqh madzhab Ahmad. Salah satu kitab fiqh madzhab Hanbali
adalah “Al Mughni” karangan Ibnu Qudamah.
46
Bab Ketiga
Madzhab-madzhab Lain
Selain madzhab empat yang diuraikan sepintas di bab II masih ada
sejumlah madzhab lainnya. Dalam pendapat-pendapat dalam masalah fiqh, mereka
memiliki ciri khas. Namun madzhab-madzhab ini tidak berumur lama sebab mereka
hanya muncul di jamannya. Setelah itu mereka hanya tinggal tersimpan di
buku-buku fiqh tanpa pengikut yang menyebar luas madzhab mereka.
1. Madzhab Dhahiri
Pendiri madzhab ini adalah Dawud bin Ali, Abu Sulaiman Al Asfahani Adl
Dlahiri. Di lahirkan di Kufah tahun 202 H dan wafat di Baghdad tahun 270. Ia
termasuk ahli hadis dengan tingkatan Hadifl (yang menguasai hadis dan ilmunya
secara keseluruhan) disamping ia seorang ahli fiqh, mujtahid, memiliki madzhab
tersendiri. Sebelumnya ia adalah pengikut madzhab Syafi’i di Bagdad.
47
Madzhab dlahiri adalah madzhab yang mengambil hukum dan mengamalkan
dengan makna tekstual (dlahir) Al Quran dan Sunnah selama tidak ada dalil yang
memberikan petunjuk selain makna tekstual. Jika tidak ada teks Al Quran dan
Sunnah maka mereka mengambil Ijma’ dengan syarat berdasarkan konsensus semua
ulama umat di masa itu. Mereka juga mengambil Ijma’ sahabat Rasulullah saja.
Jika tidak teks Al Quran, Sunnah, Ijma maka mereka mengambil dalil Istishab;
hukum asal suatu masalah adalah boleh dilakukan. Namun mereka menolak dalil
Qiyas, Istihsan, saddudzarai’, atau bentuk ijtihad lainnya. Disamping itu
mereka juga menolak taqlid (mengikut secara total kepada seorang Imam tanpa
mengetahui dalil).
Salah satu pengikut madzhab Adl Dlahiri yang melakukan pembelaan dan
penyebaran di masa pertumbuhan madzhab adalah Abu Muhammad Ali bin Said bin
Hazm Al Andalusi (384-456 H) atau yang terkenal dengan sebutan Ibnu Hazm.
Madzhab ini tumbuh berkembang pesat di Andalusia di abad V H kemudian punah di
abad VIII H.
Di antara pendapat fiqh madzhab yang khas adalah; haramnya bejana emas
perak untuk digunakan minum; riba hanya diharamkan pada enam hal saja seperti
yang disebutkan dalam hadis, istri yang kaya harus memberi nafkah kepada
suaminya yang miskin.
2. Madzhab Syiah Az Zaidiyah.
Pendiri madzhab ini adalah Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Al Husain (W
122 H). ia adalah Imam Syiah Al Zaidiyah. Ia seorang Imam di zamannya dan
seorang ilmuwan luas. Sebab ia menguasai ilmu Al Quran, qira’at, fiqh. Bahkan
ia terkenal dengan julukan Haliful-quran. Ia juga memiliki
48
kitab fiqh yang paling dahulu “Al Majmu’” dicetak di Italia kemudian
diuraikan (syarah) oleh Syarfuddin Al Shan’ani ahun 1221 H dengan judul Ar
Raudlun Nadlir dalam empa jilid. Az Zaidiyah: sebuah kelompok yang menjadikan
kepemimpinan umat seteleh Ali Zainul Abidin kepada anaknya Zaid bin Ali,
pendiri madzhab ini. Ia dibaiat di Kufah di zaman kekhilafahan Hisyam bin Abdul
Malik. Yusuf bin Umar memeranginya dan ia terbunuh. Menurut Imam Zaid, Ali bin
Abu Thalib lebih utama menjadi khalifah dibanding dengan sahabat Rasulullah saw
lainnya. Salah satu pendapatnya adalah jika seorang pemimpin umat melakukan
kedlaliman dan penindasan atas yang lemah maka harus keluar dari baiat.
Imam Zaid menentang pengikutnya yang mencela dan menjelek-jelekkan Abu
Bakar dan Umar bin Khatab. Karena menolak pendapat Zaid, mereka membuat
kelompok sendiri yang disebut dengan Ar Rafidlah. Sebab pada saat mereka
menolak, Zaid mengatakan,”Rafadltumuni (kalian menolak saya),”
Di masa pertumbuhan pertama, madzhab ini tidak jauh berbeda dengan
madzhab Ahli Sunnah hanya beberapa masalah saja yang berbeda. Misalhnya madzhab
Zaidiyah tidak menganggap masyru’nya (dituntunkannnya) mengusap sepatu saat
dalam perjalanan, haramnya sembelihan orang selain Islam (meski dari Ahli
Kitab), haramnya menikah dengan perempuan Ahli Kitab berdasarkan firman Allah:
“Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir.” (Al Mumahinah: 10)
Berbeda dengan Syiah Imamiyah, madzhab Zaidiyah melarang nikah mut’ah,
menambahkan lafadl azan dengan
49
“hayya ala khairil amal” dan melakukan takbir lima kali dalam shalat
janazah.
Madzhab ini merupakan madzhab syiah yang paling dekat dengan Ahlusunnah.
Namun dalam masalah akidah mereka mengambil madzhabMu’tazilah.
3. Madzhab Syiah Imamiyah
Pendiri madzhab ini adalah Abu Abdullah Ja’far Ash Shadiq bin Muhammad
Al Baqir bin Ali Zainal Abidin (80-148 H). Syiah Imamiyah menetapkan
kepemimpinan 12 imam yang ma’shum (terjaga dari dosa). Dari yang pertama, Abu
Al Hasan Ali Al Murtadli dan yang terakhir adalah Muhammad Al Mahdi Al Hujjah.
Imam yang terakhir ini diyakini tersembunyi dan akan muncul di akhir zaman.
Madzhab ini disebarluaskan oleh Ibnu Farrukh di Persia dalam kitabnya Basyair
Darajat fi ulumi ali muhammad wama khasshahumullah bihi dicetak tahun 1285 H.
Kitab fiqh pertama dalam madzhab Syiah Imamiyah termasuk kiab Risalatul
halal wal haram karangan Ibrahim Ibnu Muhammad Abu Yahya al Madany Al Aslami
yang dia riwayatkan dari Imam Ja’far Ash Shadiq. Kemudian anaknya, Ali Ar Ridla
menulis kitab fiqh dengan judul “Fiqhu Ar Ridla” dicetak ahun 1274 H di
Teheran.
Di abad IV muncul penyebar madzhab ini yaitu Muhammad bin Ya’qub bin
Ishak Al Kulaini Ar Razi (W 324) yang kemudian mengarang “Al Kafi fi ilmiddin”
yang memuat 16.099 hadis dari riwayat ahlul bait, sebuah jumlah melebihi hadis
dalam hadis shahih dalam enam buku.
50
Sehingga Al Kafi menjadi pegangan madzhab Imamiyah. Di samping kitab
lain; Man laa yahdluruhu, Shaduq Al Qummi, Tahdbul ahkam, Ath Thusi, Isibshar,
Ath Thusi.
Madzhab Imamiyah dalam fiqh tidak mengambil dalil setelah Al Quran
kecuali dari hadis-hadis yang diriwayatkan dari ahlul bait. Mereka juga
melakukan ijtihad, menolak Qiyas yang illatnya tidak ditegaskan dalam nash,
menolak Ijma’ kecuali jika Imam mereka masuk dalam mereka. Rujukan dalam
masalah hukum bagi mereka dalah Imam mereka saja bukan yang lain.
Di antara masalah fiqh yang berbeda antara Ahlussunnah dengan Syiah
Imamiyah adalah; mereka membolehkah nikah sementara, nikah mut’ah, dalam thalak
harus ada saksi, haramnya sembelihan ahli kitab, haram menikah dengan wanita
Nasrani dan Yahudi, tidak disyariatkan mengusap sepatu dalam wudlu di
perjalanan sebagai ganti mencuci kaki dalam wudlu.
4. Madzhab Ibadliyah
Pendiri madzhab ini adalah Abu Sya’tsa’ Jabir bin Zaid (W 93 H) termasuk
dari kalangan Tabiin yang mengamalkan Al Quran dan Sunnah. Ia berguru kepada
Ibnu Abbas RA. Mereka berdasarkan Al Quran, Sunnah, Ijma’, Qiyas, Istihsan,
Maslahah Mursalah, Istishab, perkataan sahabat. Mereka menolak disebut sebagai
kaum Khawarij mereka mengaku dengan Ahlud dakwah, Ahli istiqamah, jamaatul
muslimin.
Madzhab Ibadliyah terkenal dalam dengan pendapat-pendapat sebagai
berikut:
51
• Tidak disyariatkan mengusap sepatu dalam wudlu di perjalanan sebagai
ganti mencuci kaki dalam wudlu, seperti hal pendapat Syiah Imamiyah.
• Tidak mengangkat tangan dalam takbiratul ihram dalam shalat, tidak
sedakap dalam shalat saat berdiri dan hanya sekali salam di akhir shalat
seperti halnya pendapat Maliki dan Zaidi.
• Bagi orang junub yang masuk waku pagi hari bulan puasa maka ia harus
membatalkan puasa. Berdasarkan hadis Abu Hurairah dan pendapat sebagian tabiin.
• Haramnya semebelihan Ahli kitab yang tidak membayar pajak kepada
negara atau kafir harbi.
• Haram nikahnya anak, ini pendapat Jabir bin Zaid yang berbeda dengan
yang diamalkan dalam madzhab Ibadliyah.
• Makruh menikai dua anak perempuan paman sekaligus.
• Wasiat wajib hukumnya bagi kerabat dekat selain ahli waris. Bolehnya
memberikan wasiat kepada cucu meski anak ada. Al Baqarah: 180.
• Hamba sahaya yang melakukan perjanjian merdeka dengan tuannya sudah
berstatus merdeka saat perjanjian ditulis.
Di antara kitab pegangan mereka dalam masalah akidah adalah Masyariqul
Anwar, Nuruddin As Salami, dalam masalah ushul fiqh adalah Thalausyams,
Nuruddin As Salami, dalam masalah fiqh Syarhunail wasyifaulalil, Muhammad bin
Yusuf bin, Qamussyariah, As Sa’dy.
Madzhab mereka hingga kini masih ada di Oman, Afrika Timur, Aljazair,
Libia dan Tunis.
Dalam masalah akidah mereka mengatakan orang yang melakukan dosa besar
kekal dalam neraka jika tidak
52
bertobat, sifat Allah adalah dzat-Nya itu sendiri, Allah tidak bisa
dilihat di akhira sekali pun untuk mengagungkan-Nya.
53
Bab Keempat
Sumber Hukum Dalam Fiqih
Sumber fiqh adalah dalil-dalil yang dijadikan oleh syariat sebagai
hujjah dalam pengambilan hukum. Dalil-dalil ini sebagian disepakati oleh ulama
sebagai sumber hukum, seperti Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Sebagian besar ulama
juga menetapkan Qiyas sebagai sumber hukum ke empat setelah tiga sumber di atas.
Di samping itu ada beberapa sumber lain yang merupakan sumber turunan
dari sumber di atas, seprti Istihsan, Masalihul mursalah, Urf, dan lain-lain.
Perlu diketahui bahwa semua dalil-dalil yang ada bersumber dan berdasarkan dari
satu sumber; Al Quran. Karena Imam Syafi'i mengatakan,"Sesungguhnya
hokum-hukum Islam tidak diambil kecuali dari nash Al Quran atau makna yang
terkandung dalam nash." Menurutnya, tidak ada hukum selain dari nash atau
kandungan darinya. Meski, Imam Syafi'i membatasi maksudnya "kandungan
nash" hanya
55
dengan qiyas saja. Sementara ahli fiqh lainnya memperluas pengertian
"kandungan nash".
A.Sumber-sumber Pokok:
Selain Qiyas sumber-sumber pokok fiqh disepakati oleh para ulama fiqh
sebagai dalil pengambilan hukum.
1. Al Quran
Al Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui
malaikat Jibril. Menurut ulama Ushul Al-qur’an adalah, “Kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. yang ditulis dalam mushhaf, berbahasa
arab, dinukilkan kepada kita dengan jalan mutawatir, diawali dari surat
Al-Fatihah, diakhiri dengan surat An-Nas dan membacanya merupakan ibadah.
Al Quran menjelaskan rambu-rambu masalah akidah dengan secara rinci,
namun masalah ibadah dan hak-hak antar sesame dengan cara garis besar. Dalam
syariat Islam Al Quran adalah undang-undang dalam menetapkan aturan social. Ia
sebagai tuntutan bagi Nabi saw. dan pengikutnya. Karenanya, ia merupakan sumber
utama dan pertama.
Banyak hukum-hukum mengenai ibadah dalam Al Quran disebutkan secara
garis besar seperti hukum-hukum shalat, puasa, zakat dan tidak dijelaskan
secara cara melakukan shalat atau kadar yang dikeluarkan dalam zakat.
Penjelasan rinci mengenai hal-hal tersebut terdapat dalam Sunnah baik dengan
perkataan atau perbuatan Rasulullah saw.
56
Demikian hal dengan perintah Al Quran untuk memenuhi perjanjian dan akad
serta halalnya jual beli dan haram riba disebutkan secara garis besar. Dalam Al
Quran tidak dijelaskan secara terperinci akad dan traksaksi jual beli yang sah
dan dibenarkan oleh syariat dan yang tidak dibenarkan.
Namun dalam beberapa hal, Al Quran memberikan penjelasan terperinci
seperti masalah warisan, mekanisme Li'an (suami yang menuduh istrinya melakukan
zina tanpa bukti yang cukup), sebagian hukuman hudud, perempuan yang haram
dinikahi, dan beberapa hukum lainnya yang tidak berubah sepanjang zaman.
Penguraian secara garis besar, terutama dalam masalah hukum-hukum
muamalat social, system politik membantu kita memahaminya dan memudahkan
mempraktekknya dalam situasi yang berbeda dengan tetap berpegang dengan
pemahanan yang benar.
Penguraian garis besar juga menegaskan bahwa Al Quran dirinci oleh
Rasulullah saw. dalam menentukan mekanisme hukum, kadarnya, dan batasannya.
Karenanya, Al Quran memberikan isyarat tentang tugas Sunnah dalam hal ini
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah." (Al Hasyr: 7)
Dari sini, maka sunnah adalah pintu masuk memahami Al Quran secara utuh.
2. As Sunnah: 57
Menurut ulama hadits Sunnah adalah, “Apa-apa yang datang dari Nabi saw.
berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, sifat-sifat beliau baik sifat jasmani
ataupun sifat akhlaq.
Sunnah merupakan sumber syariat Islam setelah Al Quran. Sunnah berfungsi
merinci garis besar Al Quran, menjelaskan yang musykil, membatasi yang muthlak,
dan memberikan penjelasan hukum. Sunnah juga merupakan sumber hukum independent
(mustaqil) yang tidak ada hukumnya dalam Al Quran seperti warisan untuk nenek
yang dalam sunnah disebutkan mendapatkan warisan 1/6 dari harta warisan.
Namun demikian Sunnah mengikut Al Quran sebagai penjelas sehingga sunnah
tidak akan keluar dari kaidah-kaidah umum dalam Al Quran. Maka memahami Sunnah
secara umum merupakan susuatu yang pasti dalam memahami Al Quran karena jika
tidak kitab suci ini tidak mungkin bisa dipahami dan dipraktikkan dengan benar.
Sunnah sampai ke kita dengan melalui jalan periwayatan secara berantai
hingga ke Rasulullah saw. Sebab masa kenabian sudah usai. Namun krediblititas
agama dan moral para perawi (pembawa hadis) itu sudah melalaui seleksi ketat
oleh para ahli hadis. Sehingga keotentikan hadis dan kebenarannya sudah melalui
pembuktian yang ketat. Hadis shahih dan hasan saja yang bisa dijadikan sumber
hukum.
Sementara hadis hadis yang berstatus lemah (dlaif), atau bahkan palsu
(maudlu') yang tidak bisa dijadikan referensi dan sumber hukum syariat.
58
Kitab-kitab hadits yang dijadikan sumber utama adalah Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim. Kemudian kitab-kitab Sunan Abu Dawud, Sunan An Nasai, Sunan At
Tirmidzi, Sunan Ibnu Majah. Disamping kitab Al Muwatta' karangan Imam Malik dan
Musnad Ahmad karangan Imam Ahmad memiliki kedudukan penting bagi para ulama
fiqh.
Jadi seorang ahli fiqh akan mencari dalil terlebih dahulu dari Al Quran
kemudian dari Sunnah. Diriwayatkan dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bertanya
kepada Muadz bin Jabal: Bagaimana kamu memutuskan masalah yang kamu hadapi?
Muadz: Saya memutuskan dengan kitab Allah. Rasulullah: Bagaimana jika kamu
tidak menemukan di dalamnya? Muadz: Dengan Sunnah Rasulullah," Kepada
hakim Syuraih, Umar bin Khattab mengirim surat kepadanya yang
berisi,"Hendaklah kamu memutuskan dengan kitab Allah, jika tidak menemukan
maka dengan Sunnah Rasulullah saw."
3. Ijma'
Ijma' adalah kesepakatan para ahli fiqh dalam sebuah periode tentang
suatu masalah setelah wafatnya Rasulullah saw tentang suatu urusan agama. Baik
kesepakatan itu dilakukan oleh para ahli fiqh dari sahabat setelah Rasulullah
saw wafat atau oleh para ahli fiqh dari generasi sesudah mereka. Contohnya
ulama sepakat tentang kewajiban shalat lima waktu sehari semalam dan semua
rukun Islam.
Ijma' merupakan sumber hukum dalam syariat setelah Sunnah.
Menurut Imam Ibnu Taimiyah Ijma adalah, “Kesepakatan seluruh ulama Islam
terhadap suatu masalah dalam satu
59
waktu. Apbila telah terjadi ijma’ seluruh mujtahidin terhadap suatu
hukum, maka tidak boleh bagi seseorang menyelisihi ijma trsebut, karena ummat
(para mujtahidin) tidak mungkin bersepakat terhadap kesesatan.
Sejumlah ayat dan sunnah menjelaskan bahwa Ijma' adalah sumber dan
hujjah dalam menetapkan hukum. Allah berfirman:
“Barangsiapa yang durhaka kepada Rasul setelah petunjuk datang dan
mengikuti jalan selain jalan orang-orang beriman,” (An Nisa: 115)
Rasulullah saw. Bersabda,”Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan,”
dalam riwayat lain “…dalam kesalahan,” Dalam hadis lain,”Apa yang menurut
orang-orang Islam baik maka ia baik di sisi Allah dan apa yang menurut mereka
buruk maka buruk di sisi Allah,”
Di hadits lain disebutkan,
”Barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja maka ia
telah melepaskan ikatannya dari Islam”
Disamping itu Ijma' dilakukan berdasarkan dalil di dalamnya sebab tidak
mungkin ulama dalam masa tertentu melakukan kesepakatan tanpa dalil syariat.
Karenanya, para ulama mutaakhir (generasi belakangan) ingin mengetahui Ijma'
maka yang dicari bukan dalil Ijma' namun kebenaran adanya Ijma' itu sendiri,
apakah benar periwayatannya atau tidak.
4. Qiyas 60
Qiyas adalah menyamakan (menganalogikan) suatu perkara dengan perkara
(yang sudah ada ketetapan hukumnya) dalam hukum syariat kedua kedua perkara ini
ada kesamaan illat (pemicu hukum). Menurut ulama ushul qiyas adalah,
“Memberlkukan suatu hukum yang sudah ada nashnya kepada hukum yang tidak ada
nashnya berdasarkan kesamaan illat. Contoh, Allah mengharamkan khamar karena
memabukan, maka segala makanan dan minuman yang memabukan hukumnya sama dengan
khamar yaitu haram.
Dibanding dengan Ijma’, Qiyas lebih banyak memberikan pengaruh dalam pengambilan
hukum yang dilakukan oleh para ulama fiqh. Ijma’ disyarakan harus disepakai
semua ulama di suatu waktu dan tempat tertenu. Sementara Qiyas tidak
disyaratkan kesepakatan ulama fiqh. Masing-masing ulama memiliki kebebasan
untuk melakukan Qiyas dengan syarat-syarat yang sudah disepakati oleh para
ulama.
Kenapa harus ada Qiyas? Sebab teks-teks Al Quran dan Sunnah sangat
terbatas, artinya tidak keseluruhan masalah disebutkan hukumnya satu-satu
persatu. Sementara kejadian-kejadian yang membutuhkan kepastian hukum syariat
dalam kehidupan manusia sanga banyak dan setiap hari muncul kejadian-kejadian
baru. Untuk memecahkan masalah itu diperlukan ijihad dari para ulama fiqh.
Salah satu methode ijtihad tersebut disebut dengan Qiyas.
Hukum-hukum jual beli misalnya, Al Quran dan Sunnah menyebutkan lebih
banyak dibanding dengan soal sewa menyewa. Maka para ahli fiqh kemudian
melakukan Qiyas pada hukum-hukum sewa-menyewa dengan hukum-hukum dalam masalah
jual beli karena kedua masalah ini memiliki
61
kesamaan; dari sisi keduanya adalah transaksi jual beli barang dan jasa.
B. Sumber-sumber tabaiyah (turunan)
Disebut turunan karena sumber-sumber sesungguhnya diambil dan bermuara
dari pemahaman baik langsung atau tidak terhadap Al Quran dan Sunnah.
1. Masalih mursalah
Atau dikenal juga Istislah. Yang artinya; mengambil hukum suatu masalah
berdasarkan kemasalahatan (kebaikan) umum. Yaitu kemasalahatan yang oleh
syariat tidak ditetapkan atau ditiadakan. Masuk dalam masalah adalah
menghindarkan kerusakan baik terhadap indifidu atau masyarakat dalam banyak
bidang.
Contoh maslahah mursalah adalah Umar bin Khatab dimasa kekhilafahannya
membuat sebuah instansi untuk menangani gaji para pasukan kaum muslimin.
Kemudian muncul instansi lainnya untuk menangani masalah-masalah lainnya.
Menurut sebagian ulama Mashlahatul Mursalah adalah, memelihara maksud
Syara’ dengan jalan menolak segala yang merusakan makhluk. Contohnya, menaiki
bis atau pesawat ketika melaksanakan ibadah haji walau itu tidak ada di zaman
Rasulallah tidak tetapi boleh dilakkukan demi kemashlahatan ummat. Contoh lain,
mendirikan sekolah, madrasah untuk thalabul ilmi, tegasnya melakukan hal-hal
yang berhubungan dengan agama walau tidak ada di zaman
62
Nabi boleh kita lakukan demi kemashlahatn ummat yang merupakan tujuan di
syaria’atkanya agama.
2. Istidlal
Menurut Ibnu Hazm istidlal adalah, “Mencari dalil dari
ketetapan-ketetapan akal dan natijah-natijah (kesimpulan) atau dari seorang
yang lain yang mengetahuinya”.
Menurut ulama lain, Istidlal adalah, “Pertalian antara dua hukumtanpa
menentukan illat (sebab)nya. Misalnya, menentukan batalnya shalat kalau tidak
menutup aurat, karena menutup aurat merupakan syarat shahnya shalat.
Contoh lain, haramnya menjual daging babi karena termasuk membantu dalam
kedurhakaan.
3. Istishhab
Istishhab adalah, menetapkan hukum yang berlaku sekarang atau yang akan
datang berdasarkan ketetapan hukum sebelumnya karena tidak ada yang merubahnya.
Misalnya, seseorang telah berwudlu, setelah beberapa saat ia ragu-ragu
apakah ia sudah batal atau belum, maka ketetapan hukum seblumnya yaitu sudah
berwudlu bisa dijadikan dalil bahwa ia masih punya wudlu. Sebagian ulama
menamakan istishhab dengan “Baraatu Al-Dzimmah”.
4. Saddu Dzari’ah
Saddu Dzari’ah adalah, mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan
untuk menolak kerusakan atau menyumbat
63
jalan yang menyampaikan seseorang kepada kerusakan. Contoh, diharamkan
menanam ganja atau opium untuk menutup kerusakan yang akan ditimbulkannya,
yaitu orang-orang menggunakannya untuk memabukkan. Contoh lain, membuat
diskotik karena biasanya sebgai tempat maksiat dan dosa.
5. Istihsan
Istihsan adalah berpindah dari suatu hukum dalam pandangannya kepada
hukum yang berlawanan karena ada suatu yang dianggap lebih kuat, dengan
pertimbangan hukum yang baru lebih baik karena kondisi dengan tanpa mengubah
hukum asalnya, jika kondisi normal. Contohnya, orang yang mencuri di musim
paceklik atau musim kelaparan tidak dipotong tangannya karena dimungkinkan ia
mencurinya karena terpaksa.
6. 'Urf
'Urf atau kebiasaan adalah sesuatu yang biasa terjadi di kalangan kaum
muslimin, misalnya jual beli yang harusnya pakai ijab qobul, pada suatu kondisi
tidak apa-apa jika kebiasaan masyarakat disana idak melakukannya. Contoh lain,
batasan safar yang membolehkan di qoshor shalat, tergantung kepada kebiasan
masyarakat menamakan istilah safar tersebut.
7. Syar'u man qoblana
Maksudnya adalah syariat umat sebelum nabi Muhammad diutus, namun
syariat Muhammad tidak menghapusnya dengan jelas. Selama tidak nash Al Quran
dan hadis yang
64
menjelaskan bahwa syariat itu tidak dihapus maka ia termasuk syariat
kita.
65
Bab Kelima
Tingkatan Mujtahid Fiqih
Seseorang layaknya mengetahui tingkatan-tingkatan ahli fiqh ketika
mengambil salah satu fatwa atau pendapat dalam masalah fiqh, agar bisa membedakan
antara pendapat-pendapat yang bertentangan. Kemudian mentarjih/menguatkan salah
satu dari pendapat-pendapat itu. Adapun tingkatan ahli fiqh ada enam tingkatan
yaitu :
1. Mujtahid Mustaqil
Adalah seseorang yang mampu membuat qa’idah sendiri dalam membuat
kesimpulan-kesimpulan hukum fiqh, atau ketika ia berfatwa terhadap suatu
masalah ia menggunakan kaidah-kaidah yang ia ciptanakan sendiri hasil dari
pemahammnya yang mendalam terhadap Al Quran dan Sunnah. Seperti para imam
Madzhab yang empat. Ibnu Abidin menamakan tingkatan ini dengan, tingkatan
Mujtahid dari segi Syari’at.
67
2. Mujtahid Muthlaq Ghairu Mustaqil
Adalah seseorang yang memenuhi criteria sebagai seorang mujahid
mustaqil, akan tetapi ia tidak membuat kaidah-kaidah sendiri dalam menyimpulkan
masalah-masalah fiqhnya, ia memakai kaidah-kaidah yang dipakai oleh para imam
Madzhab dalam berijtihadnya.
Inilah yang disebut muthlaq muntashib tidak mustaqil, seperti para murid
imam Madzhab diantaranya, Abi Yusuf, Muhammad, Zufar dari kalangan madzhab
Al-Hanafiyah. Ibnu Al-Qasim, Asyhab, dan Asad Ibnu Furat dari kalangan Madzab
Al-Malikiyah. Al-Buwaiti, Al Muzanni dari kalangan madzhab Asy-Syafi’iyah. Abu
Bakar Al-Atsram, Abu Bakar Al-Marwadzi dari kalangan Madzhab Al-Hanabilah.
Inilah yang Ibnu Abidin namakan, tingkatan Mujtahid dalam Madzhab.
Mereka mampu mengeluarkan atau membuat kesimpulan hukum dalam maslah fiqh
berdasarkan dalil yang merujuk kepada kaidah yang digunakan oleh guru-guru
mereka, walau kadang suka berbeda dalam bebarapa hal dengan gurunya, akan
tetapi ia mengikuti gurunya dalam kaidah-kaidah pokoknya saja.
Dua tingkatan mujtahid di atas sudah tidak ada pada zaman sekarang.
3. Mujtahid Muqayyad
Adalah seseorang yang berijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada
nashnya (keterangannya) dalam kitab-kitab madzhab, seperti, Al-Hashafi,
Al-Thahawi, Al- Kurhi, Al-
68
Halwani, Al-Srakhosi, Al-Bazdawi dan Qadli Khan dari kalangan madzhab
Al-Hanafiyah. Al-Abhari, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani dari kalangan Madzab
Al-Malikiyah. Abi Ishaq Al-Syiraji, Al-Marwadzi, Muhammad bin Jarir, Abi Nashr,
Ibnu Khuzaimah dari kalangan Madzhab Al- Syafi’iyah. Al-Qadli Abu Ya’la,
Al-Qadli Abi Ali bin abi Musa dari kalangan Madzhab Al- Hanabilah.
Mereka semua disebut para imam Al-Wujuh, karena mereka dapat meyimpulakn
suatu hukum yang tidak ada nashnya dalam kitab madzhab mereka, dinamakan Wajhan
dalam madzhab ( satu segi dalam madzhab) atau satu pendapat dalam madzhab,
mereka berpegang kepada madzhab bukan kepada Imamnya (gurunya), hal ini
tersebar dalam dua madzhab yaitu, Al-Syafi’iyah dan Al-Hanabalah.
4. Mujtahid Tarjih
Adalah mereka yang mampu mentarjih (menguatkan) salah satu pendapat dari
satu imam madzhab dari pendapat-pendapat madzhab imam lain, atau dapat
mentarjih pendapat salah satu imam Madzhab dari pendapat para muridnya atau
pendapat imam lainnya. Berari Ia hanya mengambil satu riwayat dari beberapa
riwayat saja, seperti, Al-Qaduri, Al-Murghainani (pangarang kitab Al-Hidayah)
dari kalangan madzhab Al- Hanafiyah. Imam Al-Kholil dari kalangan Madzhab Al-Malikiyah,
Al- Rafi’i, Al-Nawawi dari kalangan Madzhab Al- Syafi’iyah. Al-Qadli Alauddin
Al-Mardawi tokohnya madzhab Al- Hanabalah. Abu Al-Khottob Mahfudz bin Ahmad
Al-Kalwadzani Al-Bagdadi dari kalangan madzhab Al-Hanabalah.
5. Mujtahid Fatwa 69
Adalah seseorang yang senantiasa mengikuti salah satu madzhab, mengambil
dan memahami masalah-masalah yang sulit ataupun yang mudah, dapat membedakan
mana pendapat yang kuat dari yang lemah, mana pendapat yang rajih dari yang
marjuh, akan tetapi mereka lemah dalam menetapkan dalil dan mengedit
dalil-dalil qiyasnya. Seperti para imam pengarang matan-matan yang terkamuka
dari kalangan imam mutaakhir (belakangan), seperti pengarang Al-Kanzu (Kanzul
Ummal), pengarang Al-Durur Mukhtar, pengarang Majma’ Al-Anhar dari kalangan
Al-Hanafiyah, Al-Ramli dan Ibnu Hajar dari kalangan Al-Syafi’iyah.
6. Muqollid
Adalah mereka yang tidak mampu melakukan hal-hal di atas, seperti
membedakan mana yang kuat mana yang lemah, ia hanya bisa mengikuti
pendapat-pendapat ulama yang ada.
Jumhur ulama tidak membedakan anatara mujtahid muqoyyad dan mujtahid
takhrij, tetapi Ibnu Abidin menjadikan mujtahid takhrij sebagai tingkatan yang
keempat setelah mujtahid muqoyyad, ia memberikan contoh Al-Razi Al-Jashash
(wafat th. 370) dan yang semisalnya.
70
Bab Keenam
Istilah-istilah Fiqih
Ulama fiqh membunyai istilah-istilah tertentu yang sering digunakan
dalam kitab-kitab mereka, diantaranya :
A. Isthilah-isthilah hukum
Pertama : Yang berkaitan dengan mukallaf (hukum taklif)
1. Fardhu
Adalah apa-apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh agama dengan tuntutan
yang pasti dan harus, dengan dalil qath’I (pasti), Contohnya, rukun Islam yang
lima, yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah mutawatirah, atau sesuatu yang
termasyhur seperti membaca Al-qur’an dalam shalat. Maka jika hukum yang fardlu
diberi pahala jika dikerjakan, dan disiksa jika ditinggalkan dan dihukumi kafir
jika meninggalkannya.
71
2. Wajib
Adalah apa-apa yang dituntut untuk dikerakan oleh agama dengan tuntutan
yang keras, dengan dalil yang dzan (tidak pasti), seperti, wajibnya zakat
fitrah, shalat witir dengan dalil dari hadits ahad (tidak mutawatir).. Menurut
qaidah lain, sesuatu yang diberi pahala jika dikerjakan, dan disiksa jika
ditinggalkan dan tetapi tidak dihukumi kafir jika meninggalkannya. Jumhur ulama
menyamakan antara wajib dan fardlu kecuali Madzhab Al-Hanafiyah
3. Al-Mandub atau Sunnah
Apa-apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh syara’ tetapi tidak dengan
keras, atau apa-apa yang diberi pahala ketika mengerjakannya tetapi tidak disiksa
jika meninggalkanya. Contohnya, menulis perjanjian utang, sahalat sunnah
rawatib, puasa sunnah dan lainnya. Para ulama menamakan mandub dengan nafilah,
mustahab, tatawu’, muragab fihi, ihsan dan hasan, kecuali Al-Hanafiyah, beliau
membagi mandub kepada mandub muakkad seperti shalat jam’ah, mandub masyru’
seperti shaum hari senin dan kamis, mandub zaid seperti meniru Rasul SAW. dalam
makan dan minum.
4. Haram
Adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan oleh agama dengan tuntutan
yang keras, menurut Al- Hanafiyah, sesuatu yang harus ditinggalkan berdasarkan
dalil yang qath’i seperti, haramnya membunuh, minum khamar, berzina dan lain
sebagainya. Maka hukumnya wajib menjauhinya dan akan disiksa ketika
meninggalkannya, Al-
72
hanafiyah menamakan haram juga dengan, ma’shiyah, dzanba, qabih, mazjur
anhu, muatawaidan alaih.
5. Makruh Tahrim
Adalah apa yang harus dituntut untuk ditinggalkan oleh agama dengan
tuntutan yang keras tetapi dengan dalil dzani, seperti haramnya menjual
dagangan orang lain, haramnya mengkhitbah yang sudah dikhitbah oleh orang lain,
haramnya memakai sutra, dan emas bagi laki-laki Apa bila ulama Al-Hanafiyah
mengatakan makruh biasanya makruh tahrim dan hal ini lebih dekat kepada haram
menurut mereka.
6. Makruh Tanzih
Menurut Al-Hanafiyah, adalah sesutau yang dituntut oleh agama untuk
ditinggalkan tetapi tidak keras tuntutannya dan tidak disiksa bila sampai
melakukannya, seperti wudlu dari bekas ludah kucing, memakan hasil buaruan
burung seperti elang dan gagak dan lain sebagainya Menurut jumhur ulama makruh
hanya satu jenis yaitu sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan oleh agama dengan
tuntutan yang tidak keras, atau dengan kata lain sesuatu yang diberi pahala
ketika meninggalkannya tetapi tidak disksa ketika mengerjakannya.
7. Mubah
Adalah apa-apa yang diperbolehkan oleh agama, baik ditinggalkan atau
dikerjakan, seperti makan, minum, tidur, berjalan dan lain sebagainya
73
Kedua : Yang berkaitan dengan pekerjaan itu sendiri
1. Sabab (sebab, faktor)
Adalah susuatu yang menjadikan hukum itu ada, apakah hal itu di akui
oleh syara’ atau tidak. Misalnya, memabukan adalah yang menyebabkan keharaman
khamar, safar (bebrgian) yang menjadi sebab dibolehakanya berbuka shaum di
bulan Ramadhan dan diperbolehlkannya mengqoshor shalat, sedang sebab yang tidak
diakui oleh syara’ misalnya, tergelincir matahari yang menyebbkan diwajibkannya
shalat Dzuhur atau terlihatnya hilal di bulan Sya’ban menjadi sebab diwajibkannya
shaum pada esok harinya.
2. Syarat
Adalah sesuatu yang menyebabkan sahnya sesuatu tetapi bukan bagian dari
sesuatu, seperti, wudlu yang menjadi syarat shahnya shalat tapi wudlu bukan
bagian dari shalat.
3. Rukun
Sesuatu yang menyebabkan shahnya sesuatu dan merupakan bagian dari
sesuatu, , mislanya, takbiratul ihram adalah yang menyebabkan shahnya shalat
dan takbiraul ihram merupakan bagian dari shalat.
4. Mani’ (penghalang)
Sesutu yang apa bila ada menyebabkan hukum menjadi tidak ada atau
menjadi bathal karenanya, contohnya, adanya najis pada pakaian menjadi sebab
tidak shahnya hukum
74
shalat, atau punya utang menjadi sebab tidak wajibnya zakat bagi
seseorang.
5. Sah/shahih
Apa-apa yang terpenuhi rukun dan syaratnya menurut Syara’ misalnya,
shalat yang dilakukan menurut rukun dan syaratnya, menyebabkan shalat itu shah.
6. Bathil (batal)
Sebaliknya dari Shahih menurut jumhur ulama, adapun menurut ulama
Al-Hanafiyah bathil adalah, sesuatu yang terdapat cacat dalam aqad pokok, yang
merupaan rukun dari sesuatu itu. Misalnya, kesalahan dalam akad jual beli,
kesalahan pada yang melakukan aqadnya misalnya ia orang gila atau anak kecil.
7. Fasid (rusak)
Menurut jumhur ulama sama dengan bathil, tetapi menurut ulama
Al-Hanafiyah adalah sesuatu yang terdapat cacat dalam satu kriteria aqad atau
dalam salah satu syaratnya. Misalnya, menjual barang dengan harga yang tidak
diketahui, menikahkan tanpa saksi, maka muamalah itu menjadi fasid karena salah
satu kriteria syaratnya tidak terpenuhi.
8. Al-ada'
Mengerjakan suatu kewajiban pada waktu yang ditentukan menurut syara’
misalnya, shalat atau shaum pada waktunya.
75
9. Al-I’adah (mengulang)
Mengerjakan suatu kewajiban yang kedua kalinya pada waktunya. Misalnya
mengerjakan shalat berjama’ah di masjid setelah mengerjakannya dirumah, atau
mengulang puasa kedua kalinya karena yang pertama tidak sah karena suatu sebab.
10. Al-Qadla
Mengerjakan suatu kewajiban setelah lewat waktunya, seperti mengerjakan
shalat yang terlupa karena tidur atau yang lainnya (tidak disengaja) misalnya,
mengerjakan shlat shubuh sedang matahari sudah tinggi.
11. Azimah
Peraturan agama yang pokok yaitu sebelum perauran itu tidak ada
peraturan lain yang mendahuluinya dan beralaku umum bagi seluruh mukallaf dalam
semua keadaan dan waktu sejak dari semulanya. Seperti kewajiban shalat lima
waktu dengan jumlah rekaat yang ditentukan secara sempurna. Lawannya adalah
rukhsah. Contoh lain, semua bangkai haram dimakan oleh semua orang dan dlam
keadaan apapun, ini disebut peraturan pokok atau azimah.
12. Rukhshah
Peraturan tambahan yang dijalankan berhubung ada hal-hal yang
memberatkan (masyaqqah) sebagai pengecualian dari peraturan-peraturan pokok.
Contoh, dalam keadaan terpaksa bangkai boleh dimakan asal tidak maksud
76
menentang dan berlebih-lebihan, maka hal itu disebut rukhshah.
B. Isthilah-isthilah khusus yang berakaitan dengan hukum yang biasa
digunakan oleh para ulama dlam menetapkan hukum syara’
1. Umum dan Khusus (aam dan khas)
Umum dan khusus termasuk ke dalam salah satu aturan untuk memahami
maksud Al-Qur’an dan hadits, karena ayat dengan ayat atau dengan hadits
biasanya saling menjelaskan tentang kandungan maknanya, diantaranya ada lafzdz
yang am (umum) dan ada juga yang khas (khusus).
Menurut definisi umum adalah, suatu lafadz yang digunakan untuk menunjukan
suatu makna yang dapat terwujud pada satuan-satuan yang banyak yang tidak
terhitung, misalnya dalam surat Al-Hujurat ayat 18 Allah berfirman, “Dan Allah
mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan” ayat ini umum menunjukan bahwa semua
amal baik kecil besar terlihat ataupun tidak, baik jelek ataupun baik pasti
diketahui oleh Allah, maka lafadz apa-apa termasuk dalam lafadz umum karena
tidak terbatas. Menurut definisi khusus adalah, suatu lafadz yang digunakan
menunjukan satu orang, satu benda nama tempat atau yang lainnya. Katika ada dua
lafadz satu umum satu khas maka lafadz umum harus di kecualikan (ditakhsis)
oleh yang khas tadi. Misalya ketika Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat
29,
“Dialah Allah yang telah menjadikan apa-apa yang ada di muka bumi ini
untuk kalian…” 77
berarti kita boleh memanfaatkan segala apa yang ada dimuka bumi ini
termasuk daging babi, khamar (arak) dan lain sebagainya, karena dalam ayat lain
Allah mengaharamkan khamar dan daging babi berarti kita tak boleh lagi memakai
dalil umum untuk memakan daging babi atau minum khmar karena ayatnya sudah
dikecualikan. Dengan demikina dapat dikatakan bahwa khas adalah tafsir atau
penjelasan untuk menegaskan batas yang dimaksud oleh kata-kata yang umum.
2. Muthlaq dan muqayyad
Muthlaq adalah, lafadz yang menunjukan suatu hal atau barang atau orang
tertentu tanpa ikatab (batasan) yang tersendiri. Contoh firman Allah dalam
surat Al-Maidah ayat 2 “Diharamkan atas kalian bangkai darah, dan daging babi”
berart semua darah dan daging babi haram dimakan. Muqayyad adalah, suatu lafadz
yang menunjukan sesuatu barang atau barang tidak tertentu disertai ikatan
(batasan) yang tersendiri berup perkataan, bukan isyarat.
Contoh firman Allah dalan surat Al-Anam 145 “Katakanlah, “aku tidak
peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepadaku sesuatu makanan yang diharamkan
kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi…” Berarti kalimat darah
dalam ayat Al-Maidah sudah dibatasi (ditaqyid) oleh ayat Al-Anam yaitu kaimat
“yang mengalir” Menurut jumhur ulama apabila ada lafadz muthlaq dan muqayyad
yang sama hukum dan sebabnya, maka lafadz muthlaq harus dibawa kepada muqayyad
yang menjadi penjelasan bagai lafadz muthlaq, bararti yang haram adalah darah
yang mengalir saja bukan semua darah.
3. Mujmal dan Mubayyan 78
Mujmal adalah lafadz/perkataan yang belum jelas maksudnya, seperti
kalimat, “Dirikanlah oleh kalian “shalat”…”maka kata shalat dalam Al-Qur’an ini
masih mujmal sebab shalat bisa berarti berdo’a atau perbuatan, belum dijelaskan
apa maksudnya. Mubayyan, ialah suatu perkataan yang terang maksud/tanpa
memerlukan penjelasan lainnya. Bisa dari ayat itu sendiri atau dari hadits Nabi
SAW. Seperti firman Allah,
“Apa bila kalian hendak mendirikan shalat maka cucilah muka-muka kalian
dan tangan-tangan kalian………”
4. Manthuq dan Mafhum
Manthuq adalah hukum yang ditunjukan oleh ucapan lafadz itu sendiri.
Mantuq dibagi dua :
a. Nas, yaitu suatu lafadz atau
perkataan yang jelas dan tidak mungkin ditakwilkan, seperti Allah wajibkan pada
kalian sahaum, Allah haramkan pada kalian bangkai, darah dan daging babi. Maka
kata-kata wajib dan haram tdak bisa ditakwilkan menjadi sesutu yang boleh
dikerjakan atau boleh ditinggalkan, sebab memang nashnya seperti itu.
b. Dzahir adalah lafadz
yang menunjukan suatu makna secara tekstual
Tapi makna ini bukan sesuatu yang dimaksud, atau sesuatu yang memerlukan
takwil/keterangan, seperti firman Allah,”Tanyakanlah oleh kalian kampung
tersebut…..” Maka secara dzahir yang ditanya itu kampung tapi ini bukan
maksud sebenarnya karena kampung tidak bisa ditanya oleh
79
karena itu ayat ini memerlukan takwil atau penjelasan diiantara dengan
dengan kaidah bahasa atau majaz.
Mafhum ialah hukum yang tidak ditunjukan oleh lafadz itu sendiri tapi
berdasarkan pemahaman terhadap lafadz. Misalnya, firman Allah surat Al-Isra
ayat 23, “Janganlah mengucapkan kata-kata “uf’” kepada kedua orang tua dan
jananlah menghardik keduanya…” berarti memukul kedua orang tua lebih diharamkan
karena mengucapkan kata-kata kasar sudah tidak boleh apalagi memukul
Contoh lain, firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 10, “Mereka yang
memakan harta benda anak-anak yatim dengan aniaya sebenarnya memakan api ke
dalam perutnya…” berarti membakar harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan
harta anak yatim karena karena membuat sesuatu keddzoliman terhadap anak yatim.
C. Istilah-Istilah Yang Berkaitan Dengan Masalah-Masalah Fiqh
1. Ijtihad
Dari segi bahasa Ijtihad berarti sungguh-sungguh sedang menurut istilah
ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupam untuk menetapkan hukum-hukum
syari’at, orangnya disebut mujtahid. syarat-syarat Ijtihad
• Mengetahui nas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah kalau tidak mengetahui
maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad
• Mengetahui soal-soal ijma, hingga ia tidak berfatwa yang berlainan
dengan ijma’
80
• Mengetahui bahasa arab
• mengetahui ilmu ushul fiqh (kaidah dasar pengambilan hukum fiqh)
• mengetahui nasikh dan mansukh
2. Ittiba’
Ialah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber-sumber atau
alasan perkataan tersebut, orangnya disebut muttabi’
3. Taqlid
Ialah mengikuti pandapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau
alasannya.
a. Syarat-syarat taqlid :
Bertaqlid diboleh dengan syarat-syarat orang awam (orang biasa) yang
tidak mengerti cara-cara mencari hukum, ia boleh mengikuti pendapat lain dan
mengamalkannya.
Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri maka hendaklah
mencari sendiri atau minimal ittaba’ kepada salah satu madzhab tertentu.
b. Syarat-syarat masalah yang ditaqlid
- Hukum akal
Dalam hkum akal tidak boleh bertaqlid kepada orang lain, seperti mengetahui
adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sifatNya dan hukum akal lainya,
karena jalan
81
menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, sedang setiap oarng punya
akal, karena itu tidak ada gunanya bertaqlid kepada orang lain.
- Hukum syara’
Hukum syara ada dua macam yaitu yang bisa diketahui dengan pasti seperti
wajibnya shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji dalam masalah ini tidak boleh
seseorang bertaqlid. Yang kedua masalah-masalah yang diketahui dengan
penyelidikan dan mencari dalil, seperti ibadah furu’iyah.
c. Taqlid yang diharamkan
1. Taqlid kepada orang lain dengan tidak memperdulikan Al-Qur’an dan
As-sunnah
2. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui keahliannya untuk ditaqlidi
Pesan Imam Empat Dalam Maslah Lain-Lain
Imam Abu Hanifah :
“Jika perkataanku manyalahi kitab Allah dan Hadits Rasul, maka
tinggalkanlah pendapatku”. “seseoarang tidak boleh mengambil perkataan saya
sebelum mengetahui dari mana sya berkata”.
Imam Malik : 82
“Saya hanya manusia biasa yang kadang salah kadang benar, selidikilah
pendapat saya, kalau sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits, maka ambillah, jika
menyalahi hendaklah tinggalkanlah”.
Imam Syafi’i :
“Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang
yang mancari kayu bakar di waktu malam, ia membawa kayu-kayu itu sedang ia
tidak tahu di dalamnya ada ular yang siap menggigit sedang ia tidak tahu.
Imam Ahamad Bin Hanbal :
“Janganlah taqlid kepada saya, Malik, Tsauri, Auza’i, tapi ambilah dari
mana mereka mengambil”.
83
Bab Ketujuh
Istilah Fiqih Madzhab
Setiap madzhab fiqh memiliki istilah khusus yang digunakan dalam
menjelaskan sebuah hukum. Terkadang sebuah istilah sebuah madzhab memiliki
pengertian sama dengan madzhab lain.
A. Istilah dalam madzhab Hanafi
1. DZhahir Ar-riwayah : pendapat yang paling rajih (kuat) dari
tiga imam utama dalam madzhab hanafi yaitu Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad
Asy Syaibani.
2. Al Imam : yang dimaksud adalah Imam Abu Hanifah. Dan istilah
lainnya tentang penyebutan ulama mereka antara lain :
o Asy-Syaikhani: dua guru, Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf.
o Ath-Tharfani: Abu Hanifah dan Imam Muhammad Asy Syaibani.
85
o Ash-Shahibani: Abu Yusuf dan Muhammad Asy Syaibani.
o Ash-ashabuna: Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad Asy Syaibani.
o Al Masyayikh: guru-guru di madzhab hanafi yang tidak berjumpa
dengan Abu Hanifah.
3. Yufti qath'an : pendapat yang menjadi fatwa secara pasti yaitu
pendapat yang kesepakatan antara tiga Imam. Dalam masalah peradilan, kesaksian
dan ilmu waris, perkataan Abu Yusuf diutamakan karena ia memiliki kelebihan
dalam praktek. Sementara dalam masalah dzawil arham (kerabat yang tidak
mendapatkan warisan tetap, diutamakan pendapat Imam Muhammad Asy Syaibani.
4. Idza lam yujad riwayat lilimam fil mas'alah : (jika dalam
suatu masalah tidak ada riwayat pendapat dari Abu Hanifah): maka madzhab hanafi
menggunakan fatwah Imam Abu Yusuf kemudian dengan perkataan Muhammad Asy
Syaibani, kemudian Zufar, kemudian Hasan bin Ziyad.
5. Idza kana fil mas'alah qiyas was istihsan : jika dalam masalah
ada pendapat menggunakan qiyas dan istihsan maka yang diutamakan dalam madzhab
hanafi adalah yang menggunakan istihsan.
6. Al mutun: (??????) yang dimaksud adalah isi pendapat dari buku
madzhab hanafi yang utama: seperti Mukhtasar al quduri, al bidayah, an
niqayah, al wiqayah, al mukhtar, al kanz, al multaqa. Jika ada dua pendapat
dalam satu masalah, satu disebut tashih dan satu lagi fatwah maka pendapat yang
diutamakan dikembalikan kepada al mutun.
7. la yajuzul amal bidlaif minariwayah : tidak boleh beramal
dengan riwayat yang lemah dari pendapat dalam satu riwayat madzhab Hanafi meski
untuk
86
dirinya sendiri. Imam Abu Hanifah sendiri pernah mengatakan,"Jika
suatu hadis shahih maka ia adalah mazdhabku," bahkan dari sejumlah imam
lain juga mengatakan demikian. Namun demikian dalam madzhab Hanafi boleh
memberikan fatwah dengan riwayat lemah boleh jika darurat untuk memudahkan
manusia.
8. Al-Hukmul Mulaffaq (beramal dengan talfiq; beramal dalam satu
masalah yang memiliki bagian-bagian yang antara madzhab satu dengan madzhab
lain berbeda pendapat dan ia beramal dengan satu bagian mengikut Hanafi dan
bagian lainnya Maliki, misalnya) hal seperti ini batil menurut Hanafi. Seperti
orang yang shalat dluhur mengusap sebagian kepala dalam wudlu maka ia tidak
boleh membatalkan shalatnya karena memiliki keyakinan wajibnya mengusap semua
kepala dalam wudlu karena mengikut pendapat Maliki.
* * *
B. Istilah dalam Mazdhab Maliki
Ada sejumlah istilah yang ada dalam madzhab Maliki:
1. Dalam madzhab Maliki seorang mufti (madzhab) memberikan fatwah dengan
pendapat yang kuat dalam suatu masalah. Sementara yang bukan mufti yang belum
memenuhi syarat mujtahid harus mengambil pendapat yang disepakati di antara
madzhab atau mengambil pendapat yang paling dikenal atau yang dikuatkan (tarjih)
oleh ulama madzhab pendahulunya.
2. Sebagian Malikiyah merunut pendapat-pendapat yang terkuat sampai
pendapat di bawahnya antara riwayat-riwayat yang ada. Perkataan Imam Malik
dalam kitab "al
87
mudawwanah" lebih kuat dari pada pendapat Ibnul Qasim di dalam
kitab ini, dan perkataan Ibnu Qasim lebih kuat dibanding dengan perkataan
lainnya di dalamnya karena beliau adalah orang yang paling tahu dengan madzhab
Malikiyah.
3. Jika disebutkan al madzhab adalah madzhab Malik.
* * *
C. Istilah Madzhab Syafi'i
1. Jika dalam Syafi'i adalah dua riwayat pendapat maka seorang mufti
madzhab harus menggunakan tarjih ulama madzhab Syafi'i yang awal-awal. Jika ia
tidak menemukan maka ia harus tawaqquf (diam). Kemudian ia harus mengutamakan
yang disahkan oleh ulama madzhab yang paling banyak (mayoritas), kemudian yang
disahkan oleh yang paling mengetahui tentang madzhab, kemudian paling wara',
jika tidak ada maka ia mengutamakan yang diriwayatkan oleh Al Buwaithi, Ar
Rabi', Al Maradi (686h), Al Muzani.
Sementara An-Nawawi (Abu Zakariyah Yahya Ibnu Syaraf An Nawawi), penulis
kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhazzab, adalah ulama yang menyaring
pendapat-pendapat madzhab dan yang memberikan penjelasan antara yang rajih dan
tidak.
2. Al-Azhhar yang paling kuat dari pendapat-pendapat di madzhab
Syafi'i.
3. Al-Mashyhur pendapat yang paling terkenal (diikuti lebih
banyak orang) dalam madzhab Syafi'i.
4. Al-Ashah yang paling sah dari perkataan Syafi'i berdasarkan
dasar-dasar madzhabnya.
88
5. Al-Jadid pendapat baru Imam Syafi'i ketika berada di Mesir
baik dalam karangan atau fatwah.
6. Al-Qadiim pendapat lama Imam Syafi'i ketika berada di Irak
baik dalam karangannya "Al hujjah". yang diamalkan adalah yang
madzhab jadid kecuali beberapa masalah saja.
7. Ibnu Hajar mengatakan, tidak boleh talfiq dalam satu masalah seperti
seseorang bertaqlid dengan Maliki dalam masalah sucinya anjing dan mengikut
Syafi'i dalam mengusap sebagian kepala dalam wudlu untuk melakukan melakukan
satu shalat.
* * *
Istilah Madzhab Hanbali
Pendapat dan riwayat yang ada dalam madzhab Hanbali sangat banyak. Ini
disebabkan karena kemungkinan melihat kembali status kesahihan hadis setelah
sebuah pendapat difatawahkan dengan dasar ra'yu, atau karena perbedaan sahabat
yang terbagi menjadi dua dalam satu masalah atau karena perbedaan situasi
realitas.
Madzhab Hanbali berbeda pendapat tentang cara mentarjih (menguatkan satu
pendapat dari pendapat berbeda):
1. Harus diperhatikan penukilan perkataan-perkataan yang ada karena itu
bukti kesempurnaan agama.
2. Kecenderungan untuk menyatukan pendapat Imam Hanbali dengan mentarjih
dengan sejarah jika diketahui sejarah perkataan itu atau dengan menimbang
antara dua pendapat dan mengambil yang paling kuat dalilnya dan lebih dekat
dengan logika Imam Hanbali dan kaidah madzhabnya.
89
3. Asy Syaikh : guru, jika disebutkan kata ini maka yang dimaksud
adalah Ibnu Taimiyah (Syaikhul Islam Abul Abbas Ahmad Taqiyyuddin Ibnu Taimiyah
Al Harani) wafat 751 H. Jika sebelum masa Ibnu Taimiyah maka yang dimaksud Asy
Syaikh adalah Ibnu Qudamah Al Maqdisi (620 h). Jika disebutkan Asy Syaikhani
maka yang dimaksud adalah Ibnu Qudamah dan Majduddin Abu Barakat.
4. Asy Syarih yang dimaksud adalah Syamsuddin Abu Faraj Abdur
Rahman ibnu Syaikh Abi Umar Al Maqdisi (682 H).
5. Al Qadli : hakim, yang dimaksud adalah Al Qadli Abu Ya'la
Muhammad bin Al Husain bin Al Farra' (458).
6. Abu Bakr yang dimaksud adalah Al Marrudzi (274 H) murid Imam
Ahmad.
7. Wa 'Anhu :darinya, yang dimaksud adalah Imam Ahmad.
90
Bab Kedelapan
Perbedaan Fuqaha
Mungkin tidak sedikit kalangan awam yang belum belajar secara khusus
tentang ilmu fiqh yang akan merasa aneh dengan perbedaan di kalangan ulama.
Seringkali bila mereka membaca tulisan yang terkait dengan kajian fiqhiyah,
mereka dapati isinya merupakan penjabaran perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Bahkan tidak jarang disebutkan ada mazhab A, mazhab B, atau ulama ini dan ulama
itu. Masing-masing datang dengan pendapatnya sendiri-sendiri yang nyaris tidak
pernah sama. Dan tidak sedikit yang kemudian bukannya menjadi paham, tapi malah
tambah bingung.
Biasanya pertanyaan menggugat yang terlontar antara lain seperti berikut
ini
Bukankah agama ini satu?
Bukankah syariat ini satu?
91
Bukankah kebenaran satu tidak berbilang?
Bukankah sumbernya pun satu juga? Yaitu wahyu Allah. Tapi kenapa terjadi
perbedaan sehingga dalam satu masalah ada pendapat lebih dari satu dan tidak
satu pendapat antara madzhab sehingga umat Islam lebih mudah mengambil
pendapat, karena mereka adalah umat yang satu?
Terkadang ada yang menduga bahwa perbedaan ini menyebabkan kontradiksi
dalam syariat atau kontradiksi dalam sumber syariat atau perbedaan akidah,
seperti perbedaan aliran-aliran dalam agama selain Islam seperti golongan
Kristen Ortodoks, Katolik,Protestan, naudzubillah!!
Semua anggapan ini adalah tidak benar. Sebab perbedaan antara madzhab
fiqh dalam Islam merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam. Khazanah
kekayaan syariat yang besar ini adalah kebanggaan dan izzah bagi umatnya.
Perbedaan fuqaha hanya terjadi dalam masalah-masalah cabang dan ijtihad fiqh,
bukan dalam masalah inti, dasar dan akidah. Tak pernah kita dengar dalam
sejarah Islam, perbedaan fiqh antara madzhab menyeret mereka kepada konflik
bersenjata yang mengancam kesatuan umat Islam. Sebab perbedaan mereka dalam
masalah parsial yang tidak membahayakan. Perbedaan dalam masalah akidah
sesungguhnya yang dicela dan memecah belah umat Islam serta melemahkan
eksistensinya.
Pangkal perbedaan ulama adalah tingkat berbeda antara pemahaman manusia
dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum, menangkap rahasia
syariat dan memahami illat hukum.
92
Semua ini tidak bertentangan dengan kesatuan sumber syariat. Karena
syariat Islam tidak saling bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan terjadi
karena keterbatasan dan kelemahan manusia. Meski demikian tetap harus beramal
dengan salah satu pendapat yang ada untuk memudahkan manusia dalam beragama
sebab wahyu sudah terputus. Namun bagi seorang mujtahid ia mesti beramal dengan
hasil ijtihadnya sendiri berdasarkan interpretasinya (dlonn ????) yang terkuat
menurutnya terhadap makna teks syariat. Karena interpretasi ini yang menjadi
pemicu dari perbedaan. Rasulullah saw bersabda,”Jika seorang mujtahid
berijtihad, jika benar ia mendapatkan dua pahala dan jika salah dapat satu
pahala,”
Kecuali jika sebuah dalil bersifat qathi’ (pasti) dengan makna sangat
jelas baik dari Al Quran, Sunnah mutawatir atau hadis Ahad Masyhur maka tidak
ruang untuk ijtihad.
Adapun sebab perbedaan ulama dalam teks yang bersifat dlanni (lawan dari
qathi) atau yang lafadlnya mengandung kemungkinan makna lebih dari satu adalah
sebagai berikut:
1. Perbedaan makna lafadl teks Arab.
Perbedaan makna ini bisa disebabkan oleh lafadl tersebut umum (mujmal)
atau lafadl yang memiliki arti lebih dari satu makna (musytarak), atau makna
lafadl memiliki arti umum dan khusus, atau lafadl yang memiliki makna hakiki
atau makna menurut adat kebiasaan, dan lain-lain.
Contohnya, lafadl al quru’ memiliki dua arti; haid dan suci (Al Baqarah
:228). Atau lafadl perintah (amr) bisa bermakna wajib atau anjuran. Lafadl
nahy; memiliki makna larangan yang haram atau makruh.
93
Contoh lainnya adalah lafadl yang memiliki kemungkinan dua makna antara
umum atau khusus adalah Al Baqarah: 206 “Tidak ada paksaan dalam agama” apakah
ini informasi memiliki arti larangan atau informasi tentang hal sebenarnya?
2. Perbedaan riwayat.
Maksudnya adalah perbedaan riwayat hadis. Faktor perbedaan riwayat ada
beberapa, diantaranya :
• hadis itu diterima (sampai) kepada seorang perawi namun tidak sampai
kepada perawi lainya
• atau sampai kepadanya namun jalan perawinya lemah dan sampai kepada
lainnya dengan jalan perawi yang kuat
• atau sampai kepada seorang perawi dengan satu jalan; atau salah
seorang ahli hadis melihat satu jalan perawi lemah namun yang lain menilai
jalan itu kuat
• atau dia menilai tak ada penghalang untuk menerima suatu riwayat
hadis. Perbedaan ini berdasarkan cara menilai layak tidaknya seorang perawi
sebagai pembawa hadis.
• atau sebuah hadis sampai kepada seseorang dengan jalan yang sudah
disepakati, namun kedua perawi berbeda tentang syarat-syarat dalam beramal
dengan hadis itu. Seperti hadis mursal.
3. Perbedaan sumber-sumber pengambilan hukum.
Ada sebagian berlandasan sumber istihsan, masalih mursalah, perkataan
sahabat, istishab, saddu dzarai' dan sebagian ulama tidak mengambil
sumber-sumber tersebut.
94
4. Perbedaan kaidah usul fiq.
Seperti kaidah usul fiqh yang berbunyi "Nash umum yang dikhususkan
tidak menjadi hujjah (pegangan)", "mafhum (pemahaman eksplisit) nash
tidak dijadikan dasar", "tambahan terhadap nash quran dalam hukum
adalah nasakh (penghapusan)" kaidah-kaidah ini menjadi perbedaan ulama.
5. Ijtihad dengan qiyas.
Dari sinilah perbedaan ulama sangat banyak dan luas. Sebab Qiyas
memiliki asal (masalah inti sebagai patokan), syarat dan illat. Dan illat
memiliki sejumlah syarat dan langkah-langkah yang harus terpenuhi sehingga
sebuah prosedur qiyas bisa diterima. Di sinilah muncul banyak perbedaan hasil
qiyas disamping juga ada kesepakatan antara ulama.
6. Pertentangan (kontradiksi) dan tarjih antar dalil-dalil.
Ini merupakan bab luas dalam perbedaan ulama dan diskusi mereka. Dalam
bab ini ada yang berpegang dengan takwil, ta'lil, kompromi antara dalil yang
bertentangan, penyesuaian antara dalil, penghapusan (naskh) salah satu dalil
yang bertentangan. Pertentangan terjadi biasanya antara nash-nash atau antara
qiyas, atau antar sunnah baik dalam perkataan Nabi dengan perbuatannya, atau
dalam penetapan-penetapannya. Perbedaan sunnah juga bisa disebabkan oleh
penyifatan tindakan Rasulullah saw dalam berpolitik atau memberi fatwah.
95
Dari sini bisa diketahui bahwa ijtihad ulama – semoga Allah membalas
mereka dengan balasan kebaikan – tidak mungkin semuanya merepresentasikan
sebagai syariat Allah yang turun kepada Rasulullah saw. Meski demikian kita
memiliki kewajiban untuk beramal dengan salah satu dari perbedaan ulama. Yang
benar, kebanyakan masalah ijtihadiah dan pendapat yang bersifat dlanniyah
(pretensi) dihormati dan disikapi sama.
Perbedaan ini tidak boleh menjadi pemicu kepada ashobiyah (fanatisme golongan),
permusuhan, perpecahan yang dibenci Allah antara kaum Muslimin yang disebut Al
Quran sebagai umat bersaudara, yang juga diperintah untuk berpegang teguh
dengan tali Allah.
Para sahabat sendiri berhati-hati dan tidak mau ijtihadnya disebut hukum
Allah atau syariat Allah. Namun mereka menyebut,"Ini adalah pendapatku,
jika benar ia berasal dari Allah jika salah maka ia berasal dari saya dan dari
setan, Allah dan Rasul-Nya darinya (pendapat saya) berlepas diri."
Di antara nasehat yang disampaikan oleh Rasulullah saw, kepada para
pasukannya baik dipimpin langsung atau tidak adalah,"Jika kalian mengepung
sebuah benteng, dan mereka ingin memberlakukan hukum Allah, maka jangan kalian
terapkan mereka dengan hukum Allah, namun berlakukan kepada mereka dengan hukummu,
karena engkau tidak tahu, apakah engkau tepat dalam menerapkan hukum Allah
kepada mereka atau tidak," (HR Ahmad, Tirmizi, Ibnu Majah)
Ini menegaskan tentang ketetapan ijtihad atau kesalahannya dalam masalah
cabang fiqh.
96
Bab Kesembilan
Hukum Bermadzhab
Tema ini sangat urgen bagi seorang ahli fiqh atau bagi seorang guru
untuk memberikan pemahaman yang benar tentang hukum berpegang dengan salah satu
madzab. Apakah seseorang dianjurkan untuk menganut madzhab tertentu? Bagaimana
hukum bertaklid? Apa batasan-batasan pembolehan?
Peninggalan fiqh yang kita miliki yang memberikan solusi bagi masalah
yang dihadapi manusia ini tidak terbatas pada madzhab empat saja (Hanafi,
Maliki, Hanbali dan Syafii). Madzhab dalam Islam banyak dan beragam, baik yang
ada hingga sekarang, atau punah, atau tinggal dalam buku-buku saja seperti yang
dijelaskan di awal. Dalam pendapat-pendapat dari sekian yang ada banyak
memberikan faidah dan guna dalam memberikan alternatif hukum pemecahan suatu
masalah. Sebab agama Allah ini muda dan tidak kesulitan bahkan untuk mewujudkan
kepentingan dan kebutuhan manusia. Berbeda dengan seorang hakim,
97
menurut Dr. Wahbah Az Zuhaili, ia harus berpegang dengan madzhab empat
karena ini yang diamalkan oleh ulama-ulama ahli sunnah hingga saat ini sehingga
hal ini menjadi semacam urf.
Yang menjadi kewajiban seseorang dalam belajar fiqh adalah berusaha –
dengan ilmu yang ia miliki – mencari kebenaran dan maslahah dari
pendapat-pendapat fiqh dan meninggalkan pendapat yang "aneh" dan
bertentangan dengan sumber dan dasar-dasar syariat. Allah memerintahkan kita
untuk mengikuti sahabat dan tabiin. Allah berfirman,
"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar." (At Taubah: 100)
Imam Syafii mengatakan,"Pendapat mereka lebih baik dari pada
pendapat kami," Al Izz bin Abdus Salam mengatakan,"Jika seorang
muqallid meyakini kebenaran sebuah pendapat dalam suatu madzhab maka ia sah
untuk mengikutinya meski bukan dari madzhab empat. Ia sah untuk mengikuti salah
satu madzhab yang ada,"
Al Iraqi berkata,"Ijma' ulama menyatakan bahwa barangsiapa yang
masuk Islam, maka ia boleh bertalqlid dengan siapa saja tanpa dosa. Para
sahabat sepakat bahwa orang yang meminta fatwah kepada Abu Bakar dan Umar
kemudian bertaqlid dengannya, maka ia sah untuk meminta fatwah kepada Abu
Hurairah, Muadz bin Jabal dan lainnya dan beramal dengan pendapat mereka.
Barangsiapa yang
98
mengaku ijma' ini tidak berlaku maka ia harus menunjukkan dalil,"
Dari sini bisa disimpulkan bahwa tidak ada dalil satupun untuk
mewajibkan seseorang untuk mengikuti satu dari empat madzhab yang ada. Keempat
madzhab ini dinilai sama. Juga sah saja mengikuti madzhab selain empat madzhab
yang ada.
Namun demikian tetap ada perbedaan ulama tentang apakah komitmen dengan
satu madzhab tertentu dituntut (diharuskan)?
Pendapat sebagian ulama: Komitmen dengan satu madzhab tertentu dan imam
tertentu hukumnya harus karena ia yakin bahwa pendapat itu benar sehingga ia
harus komitmen dengan keyakinannya.
Pendapat sebagian besar ulama: tidak harus komitmen dengan satu imam
tertentu dalam semua masalah dan hukum. Namun ia boleh bertaqlid dengan imam
mujtahid tertentu yang ia kehendaki. Jika berkomitmen dengan satu madzhab
tertentu seperti madzhab Abu Hanifah, Syafii atau yang lain, maka ia tidak
wajib terus-menerus (berkelanjutan) mengikuti mereka dalam setiap masalah. Ia
boleh berpindah dan memilih dari madzhab satu ke madzhab yang lain. Sebab ia
hanya wajib mengikuti apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Sementara Allah dan
Rasul-Nya tidak mewajibkan seseorang untuk mengikuti salah satu dari ulama,
Allah hanya memerintahkan untuk mengikuti mereka secara umum, tanpa
mengkhususkan satu dari yang lain. Allah berfirman,
99
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui," (An Nahl: 43)
Disamping itu pendapat yang menyatakan harus komitmen dengan satu
madzhab akan menyebabkan kesulitan dan kerepotan, padahal madzhab-madzhab yang
ada adalah nikmat dan rakmat bagi umat.
Apakah wajib bertanya kepada orang ahli ilmu yang lebih utama (lebih
banyak ilmunya) atau sah baginya bertanya dengan ahli ilmu yang paling mudah
baginya?
Pendapat sebagian pengikut Syafi'i dan Ahmad bin Hanbal bahwa seseorang
harus berusaha bertanya kepada orang lebih baik kwalitas ilmu, wara', dan agama
jika memungkinkan dan ia juga harus menimbang mana di antara di antara jawaban
yang lebih kuat untuk diikuti. Imam Al Ghazali mengatakan,"Barangsiapa
yang yakin bahwa Imam Syafi'I lebih utama, dan ia yakin Syafii lebih banyak
benarnya maka ia tidak boleh mengambil madzhab lain hanya karena keininginan
dan selera semata tanpa pertimbangan dalil yang ada.
Sebab pendapat ulama bagi manusia umum seperti pertanda sehingga seorang
penanya hanya melalukan tarjih (memilih yang lebih kuat). Caranya adalah
memilih di antara mereka yang paling banyak ilmu, kredibilitas agama, wara' dan
sifat-sifat mulia lainnya.
Menurut Abu Bakr Al Arabi dan kebanyakan ulama dan ahli usul: Seseorang
boleh memilih di antara ulama untuk
100
diikuti pendapatnya. Ia boleh memilih bertanya baik mereka kwalitasnya
sama atau berbeda dan boleh memilih yang lebih rendah (mafdlul) meski yang
utama (afdlal) ada. Sebab Allah berfirman,
"Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki
yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang
mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui," (An Nahl: 43)
Sebab sahabat sepakat; di antara para sahabat ada yang utama (fadlil)
dan ada dibawah itu (mafdlul) dari kalangan ahli ijtihad, di antara mereka juga
ada yang awam, namun tidak ada seorang pun di antara mereka yang mewajibkan
orang awam untuk mengikuti seorang mujtahid dari sahabat. Kalau seandainya
memilih di antara pendapat yang ada tidak boleh maka tidak mungkin sahabat
membiarkannya.
101
Bab Kesepuluh
Beberapa Masalah Dalam Bermadzhab
A. Pendapat Yang Harus Diikuti
Sebuah kenyataan yang tidak mungkin dipungkiri, bahwa para ulama
seringkali berbeda pendapat dalam masalah furu' fiqih. Bahkan kita mengenal ada
beberapa mazhab fiqih dalam Islam, 4 diantaranya dikatkan sebagai mazhab-mazhab
yang besar.
Lalu bagaimanakah sikap seorang muslim dalam menghadapi perbedaan fatwa
dari beragam mazhab itu. Dalam hal ini ada beberapa pendapat ulama ushul.
Berikut uraian singkat tentang masalah ini:
1. Kebanyakan pengikut Syafii: Manusia boleh memilih pendapat yang mana
saja dari pendapat yang ada sebab ijma' sahabat tidak mengingkari orang beramal
dengan
103
pendapat orang bukan lebih utama dari pada pendapat yang lebih utama.
2. Pendapat ahli dlahir dan Hanbali: seseorang mengambil pendapat yang
lebih keras dan berat.
3. Seseorang harus mengambil pendapat yang paling ringan.
4. Seseorang harus mencari pendapat imam yang paling luas ilmunya untuk
diikuti.
5. Seseorang harus mengikuti pendapat pertama kali muncul.
6. Seseorang harus pendapat yang didasarkan pada riwayat bukan pendapat.
7. Seseorang harus berijtihad sendiri.
8. Jika suatu masalah terkait dengan hak Allah maka ia mengambil
pendapat yang paling ringan dan jika masalah terkait dengan hak manusia maka ia
harus mengambil pendapat yang paling berat. Ini pendapat yang dipegang oleh Abu
Mansur Al Maturidi.
B. Memilih Hanya Pendapat Yang Paling Ringan
Bila memang umat Islam yang awam boleh memilih pendapat-pendapat yang
ada di dalam tiap mazhab, apakah dibolehkan bila seseorang melakukan tatabu'
ar-rukhosh, yaitu mencari dan memilih hanya pendapat-pendapat yang paling
ringan dari semua mazhab ?. Dan meninggalkan sebuah pendapat dari siapapun,
bila dianggapnya memberatkan?
Mengenai tatabbu' ar-rukhosh, ada beberapa pendapat di kalangan
para ulama, antara lain :
1. Pendapat Hanabilah, Malikiyah, dan Ghazali: 104
Tidak boleh memilih pendapat-pendapat yang ringan saja karena ini
kecenderungan hawa nafsu dan syariat Islam melarang untuk mengikuti hawa nafsu.
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul
, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih
baik akibatnya." (An Nisa: 59)
Berarti tidak sah mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada hawa
nafsu namun dikembalikan kepada syariat.
Ibnu Abdul Barr berkata,"Ijma' mengatakan, tidak boleh seorang awam
memilih pendapat-pendapat yang ringan-ringan,"
2. Penegasan madzhab Hanabilah:
Jika dua orang mujtahid sama kwalitasnya menurut orang yang meminta
fatwah namun jawabannya berbeda maka ia memilih pendapat yang paling berat.
Sebab dalam riwayat Tirmizi mengatakan,"Rasulullah saw.
bersabda,"Tidaklah Ammar ketika dihadapkan kepada dua perkara melainkan ia
memilih yang paling berat di antara keduanya," Tirmizi mengatakan hadis
ini Hasan Gharib.
3. Penegasan Malikiyah:
Dilarang memilih pendapat-pendapat yang ringan saja dalam semua masalah
yang ia hadapi. Bahkan sebagian
105
kelompok madzhab ini mengatakan orang yang hanya memilih-milih pendapat
ringan termasuk fasik. Yang lebih baik adalah dengan memilih yang paling berat
sebagai langkah untuk berhati-hati, sebab orang yang agamanya kuat ia bersifat
wara' dan orang yang agamanya lemah ia mencari-cari yang bid'ah.
4. Pendapat sebagian besar Imam Syafii dan Imam Hanbali:
Boleh seseorang mengikuti dan memilih-milih yang ringan-ringan dalam
pendapat madzhab karena dalam syariat tidak ada yang melarang melakukan itu.
Sejumlah hadis baik sunnah fi'liyah (perbuatan) atau perkataan (qauliyah).
Disebutkan dalam sebuah hadis,"Tidaklah Rasulullah saw. memilih antara dua
perkara kecuali ia memilih yang paling ringan selama bukan dosa,"
Dalam shahih Bukhari disebutkan, "Rasulullah saw. mencintai yang
meringankan bagi umatnya,"(HR. Bukhari)
Beliau bersabda,"Aku diutus dengan (agama) yang lurus lagi
ringan," (HR Ahmad)
Hadis lain,
"Agama ini mudah dan tidaklah seseorang memperberat agama ini
kecuali ia akan kalah," (HR Bukhari dan
Nasai)
Hadis lain,
"Sesungguhnya Allah mewajibkan sejumlah kewajiban-kewajiban,
memberikan tuntutan sunnah-sunnah (anjuran yang tidak bersifat
106
wajib), menetapkan hukuman-hukuman, menghalalkan yang haram,
menghalalkan yang haram, memberikan syariat agama dan dijadikannya mudah, luwes
dan leluasa dan tidak dijadikan sempit," (HR Thabrani)
Asy Sya'bi mengatakan,"Tidak seseorang diberi dua pilihan dan
memilih yang paling mudah kecuali itu lebih dicintai oleh Allah,"
Al Qarafi (Malikiyah) mengatakan,"Boleh memilih pendapat-pendapat
ringan dengan syarat tidak menyebabkan perbuatan yang batil menurut semua
madzhab."
Namun batasan yang diberikan oleh Al Qarafi ini tidak memiliki landasan
nash atau ijma' seperti yang ditegaskan oleh Al Kamal bin Hammam,"Jika
seseorang boleh berbeda dengan sebagian mujtahid dalam semua tindakannya, maka
tentu juga boleh berbeda dalam sebagian tindakannya.
Adapun ucapan Ibnu Abdul Barr yang mengatakan,"Ijma' mengatakan,
tidak boleh seorang awam memilih pendapat-pendapat yang ringan-ringan,"
kutipan ijma' ini tidak sah.
Sementara pemberian status fasiq terhadap orang yang memilih
pendapat-pendapat ringan sebenarnya dalam madzhab Hanabilah ada dua riwayat. Al
Qadli Abu Ya'la menafsirkan bahwa fasiq adalah bukan orang yang mutawwil dan
bukan muqallid. Sebagian Hanabilah mengatakan,"Jika dalilnya kuat atau ia
awam maka ia tidak fasik.
* * *
107
C. Kesimpulan:
Dasar dari mengambil (memilih) pendapat-pendapat yang ringan adalah
sesuatu yang dicintai oleh Islam, agama Islam ini mudah, tidak ada dalam agama
Islam ini kesulitan. Seharusnya memang seorang muqallid (taklid) tidak
bertujuan memilih-milih pendapat ringan dalam setiap masalah yang ia hadapi dan
setiap urusan agamanya,"
Namun hal ini diboleh tetap dengan syarat memalingkan seseorang dari
syariat Islam. Menurut pendapat Syatibi: Seorang muqallid harus melakukan
tarjih sebatas kemampuannya dan mengikuti dalil yang paling kuat. Sebab syariat
dalam urusan nayata mengembalikan kepada satu perkataan, maka seorang muqallid
tidak boleh memilih-milih di antara pendapat yang ada. Sebab jika ini terjadi
berarti ia mengikuti pendapat sesuai dengan hawa nafsunya.
Syathibi melanjutkan,"ada beberapa negative akibat memilih
pendapat-pendapat ringan:
1. Mengklaim bahwa perbedaan ulama adalah hujjah (alasan) untuk memilih
yang boleh sehingga tersebar di antara manusia bahwa yang dilakukannya boleh
padahal sebenarnya masalah itu masih diperdebatkan ulama.
2. Prinsip pembolehan ini menyeret seseorang untuk meninggalkan dalil
dan mengikuti perbedaan. Padahal kita diperintahkan mengikuti dalil.
3. Memberikan kesan seakan agama Islam tidak disiplin seperti
meninggalkan yang jelas dalilnya memilih sesuatu yang belum jelas dalilnya
karena kebodohan dengan hukum-hukum madzhab lainnya.
4. Prinsip ini bisa menjerumuskan seseorang untuk menjauhkan seseorang
dari hukum-hukum syariat
108
secara keseluruhan, karena ia memilih yang ringan-ringan saja padahal
beban-beban syariat secara umum itu berat.
* * *
D. Hukum Talfiq
Talfiq adalah menghimpun atau bertaqlid dengan dua imam madzhab atau
lebih dalam satu perbuatan yang memiliki rukun, bagian-bagian yang terkait satu
dengan lainnya yang memiliki hukum yang khusus. Ia kemudian mengikuti satu dari
pendapat yang ada.
Contoh: seseorang bertaqlid Imam Syafi'i dalam mengusap sebagian kepala
wudlu, kemudian ia bertaqlid dengan Abu Hanifah dan Malik dalam hal tidak batal
menyentuh wanita jika tidak bersyahwat. Kemudian ia shalat dengan wudlu
tersebut. Bagaimana hukumnya? Bidang talfiq hanya berlaku dalam bidang masalah
ijtihadiyah yang bersifat dlanniyah.
Sementara masalah yang sudah jelas dalam agama dimana ulama ijma' bahwa
yang meninggalkan adalah kafir maka di sini tidak boleh talfiq. Sehingga tidak
boleh talfiq dalam hal yang menyebabkan pembolehan yang haram seperti perasan
anggur dan zina dan sebagainya. Perlu diketahui bahwa masalah talfiq ini ramai
dibicarakan setelah akhir abad 10.
Masalah ini juga sebenarnya terkait dengan masalah; apakah wajib
seseorang mengikuti madzhab tertentu saja. Jika menurutnya tidak wajib, maka
boleh bertalfiq. Jika mewajibkan maka ibadah orang awam menjadi batal.
109
Meski masalah ini diperselisihkan ulama, namun pada dasarnya seseorang
diperbolehkan untuk talfiq, karena tidak ada nash Al Quran dan hadis yang
mewajibkan seseorang untuk madzhab tertentu dalam satu masalah. Namun demikian
ada beberapa batasan pembolehan talfiq:
1. Hanya memilih mengikuti perkataan yang paling ringan dan mudah
(tatabburrukhas) tanpa ada keperluan dan uzur. Ini dilarang untuk menghindari
kerusakan (fasad).
2. Talfiq yang menyebabkan pembatalan keputusan seorang hakim sebab
keputusan diambil untuk menghindari khilaf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar