Pages

Minggu, 29 Maret 2015

hadits dha'if



BAB I
PENDAHULUAN

Hadits Dhaif
 A.    LATAR BELAKANG

Ilmu hadits merupakan salah satu pilar-pilar tsaqofah islam yang memang sudah selayaknya dimiliki oleh setiap kaum muslim. Dewasa ini, begitu banyak opini umum yang berkembang yang mengatakan bahwa ilmu hadits hanya cukup dipelajari oleh para salafus sholeh yang memang benar-benar memilki kredibilitas dalam ilmu agama sehingga stigma ini membuat sebagian kaum muslim merasa tidak harus untuk mempelajari ilmu hadits.

Hal ini tentu sangat tidak dibenarkan karena dapat membuat masyarakat muslim menjadi kurang tsaqofah islamnya terutama dalam menjalankan sunnah-sunnah rosul. Terlebih dengan keadaan saat ini dimana sangat bayak beredar hadits-hadits dho’if dan hadits palsu yang beredar di tengah-tengah kaum  uslim dan tentunya hal ini akan membuat kaum muslimin menjadi pelaku bid’ah. Jika kaum muslim masih memandang remeh tentang ilmu hadits ini maka tentu ini adalah suatu hal yang sangat berbahaya bagi aqidah kaumm muslimin dalam menjalankah sunnah rosul. Oleh karena itulah, perlunya kita sebagai umat muslim memilki pengetahuan yang luas tentang ilmu hadits.

Seperti yang telah diketahui bahwa hadits dho’if adalah hadits yang lemah atau hadits yang tidak memilki syarat-syarat hadits shohih dan hadits hasan. Sebagian ulama berpendapat bahwa hadits dhiof ini tidak dapat dijadikan sebagai hujjah namun sebagian ulama yang lainnya juga ada yang berpendapat bahwa hadits dhoif ini dapat digunakan sebagai hujjah. Dengan adanya khilafiah atau perbedaan pendapat diantara para ulama,maka sangat perlulah kita sebagai umat muslim mengetahui bagaimana cara kita bersikap dalam menghadapi hadits dhoif tersebut karena hal ini akan langsung berkaitan dengan aqidah dan ibadah-ibadah kita kepada Allah SWT.

B.    RUMUSAN MASALAH
Dari pembahasan materi tentang telaah krisis terhadap hadits dhoif ini, ada beberapa rumusan masalah yang harus diselesaikan diantaranya:
  1. Apa itu hadits dhoif?
  2. Apa saja kriteria hadits dhoif?
  3. Apa saja Macam-macam hadits dhoif?
  4. Bagaimana kehujjahan hadits dhoif?
  5. Apa saja kitab-kitab yang memuat tentang hadits dhoif?

C.    TUJUAN
Tujuan dari pembahasan materi tentang hadits dhoif ini diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Mengetahui pengertian hadits dhoif.
  2. Mengetahui sebab-sebab hadits dhoif menjadi tertolak termasuk juga kriteria mengapa disebut sebagai hadits dhoif.
  3. Dapat membedakan macam-macam hadits dhoif..
  4. Mengetahui kehujjahan hadits dhoif.
  5. Mengetahui kitab-kitab yang di dalamnya memuat hadits dhoif.




































BAB II
PEMBAHASAN
Hadits Dhaif

Hadits dhoif secara bahasa berarti lemah artinya berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.Para ulama memiliki dugaan kecil bahwa hadits tersebut berasal dari Rasulullah SAW. Dugaan kuat mereka hadits tersebut tidak berasal dari Rasulullah SAW. Adapun para ulama memberikan batasan bagi hadits dhaif sebagai berikut : “ Hadits dhaif ialah hadits yang tidak memuat / menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan tidak pula menghimpun sifat-sifat hadits hasan”.

Sedangkan secara istilah para ulama terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dhoif ini akan tetapi pada dasarnya,isi, dan maksudnya tidak berbeda. Beberapa definisi,diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat hadits hasan.
  2. Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits maqbul(hadits shohih atau yang hasan)
  3. Pada definisi yang ketiga ini disebutkan secara tegas,bahwa Hadits dhoif adalah  hadits yang jika satu syaratnya hilang.
B.    Kriteria hadits dhoif

Adapun kriteria hadits dhoif adalah dimana ada salah satu syarat dari hadits shohih dan hadits hasan yang tidak terdaoat padanya,yaitu sebagai berikut sebagai berikut:
  1. Sanadnya tidak bersambung
  2. Kurang adilnya perawi
  3. Kurang dhobithnya perawi
  4. Ada syadz atau masih menyelisihi dengan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lebih tsiqah dibandingkan dengan dirinya
  5. Ada illat atau ada penyebab samar dan tersenbunyi yang menyebabkan tercemarnya suatu hadits shohih meski secara zohir terlihat bebas dari cacat.

C.    Macam-macam hadits dhoif

Hadits dlaif  sangat banyak macamnya, masing-masing memiliki derajat yang berbeda satu sama lain. Hadits dlaif yang memiliki kekurangan 1 syarat dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan lebih baik daripada Hadits dlaif yang memiliki kekurangan 2 syarat dari syarat-syarat hadits shahih dan hasan dan begitu seterusnya.

Berdasarkan sebab-sebab di atas maka macam-macam hadits dhoif ini digolongkan menjadi beberapa kelompok di antaranya:
I.    Dhoif pada segi sanad,yaitu terbagi lagi menjadi:

A.)    Dhoif karena tidak bersambung sanadnya,misalnya:

1)    Hadits munqathi’

Hadits munqathi’ adalah hadits yang gugur sanadnya di satu tempat atau lebih atau pada sanadnyan disebutkan nama seseorang yang tidak dikenal namanya. Menurut bahasa, hadits munqati berarti hadits yang terputus. Para ulama memberi balasan munqati’ adalah hadits yang gugur satu atau dua rawi tanpa beriringan menjelang akhir sanadnya. Bila rawi diakhir sanadnya adalah sahabat nabi, maka rawi menjelang akhir sanad adalah tabi’in, jadi hadits munqati’ bukanlah rawi ditingkat sahabat yang gugur, tetapi minimal gugur seorang tabi’in.
Contoh hadits munqati:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م اذَا دَخَلَ الْمَسْجِدِ قَالَ: بسْمِ اللهِ والسْلاَمُ عَلى رَسُوْلِ الله اللَهُمَ اغْفِرْ لِى ذُ نُو بِى وَافْتَحْ لِى اَبْوَابَ رْ حْ لىِ ابْوَا بَ رَحْمَتِكَ (رواة ابن ماجه)
Artinya: “Rasulullah SAW. Bila masuk ke dalam mesjid, membaca : Dengan nama Allah, dan sejahtera atas Rasulullah: Ya Allah, Ampunilah segala dosaku dan bukakanlah bagiku segala pintu rahmatmu.” (HR. Ibnu Majah).
Ibnu Shalah menjelaskan: “Dalam hadits terputus sanadnya pada 2 tempat. Pertama, Abdur Razzaq tidak mendengar dari At Tsauri. Yang benar, Abdur Razzaq meriwayatkan dari Nu’man bin Abi Syaibah Al Janadi dari Ats Tauri. Kedua, Ats Tsauri tidak mendengar dari Abu Ishaq. Yang benar, Ats Tsauri mendengar dari Syuraik dari Abu Ishaq”
2)    Hadits muallaq

Hadits muallaq adalah hadits yangg rawinya digugurkan seorang atau lebih di awal sanadnya secara berturut-turut. Hadits muallaq menurut bahasa, berarti hadits yang tergantung. Dari segi istilah, hadits muallaq adalah hadits yang gugur satu rawi atau lebih diawal sanad. Juga termasuk hadits muallaq, bila semua rawinya digugurkan (tidak disebutkan).
Contoh hadits muallaq:
Bukhari berkata, kata Malik,, dari Zuhri, dari abu Salamah, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
لاَ تَفَا ضَلُوْا بَيْنَ لَا نَبِيَاءِ. (رواة الجا رى)
Artinya: “Janganlah kamu lebihkan sebagian Nabi dan sebagian yang lain”. (HR. Bukhari).

3)    Hadits mursal

Hadits mursal adalah hadits yang gugur sanadnya setelah tabi’in. Yang dimaksud dengan gugur disisn adalah nama sanad terakhirnya tidak disebutkan. Hadits mursal, menurut bahasa berarti hadits yang terlepas, para ulama memberikan batasan hadits mursal adalah hadits yang gugur rawinya diakhir sanad, yang dimaksud dengan rawi diakhir sanad adalah rawi pada tingkatan sahabat. Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Contoh hadits mursal:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م : بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُنَا فِقِيْنَ شُهُوْدُ الْعِشَاءِ وَالْصُبْحِ لَاَ يْسْتَطِيْعُوْنَ.
Artinya:”Rasulullah bersabda: “Antara kita dengan kaum munafik, ada batasan yaitu menghadiri jama’ah isya dan subuh mereka tidak sanggup menghadirinya.” (HR. Malik).
Hadits tersebut diriwayatkan Imam Malik dari Abdurrahman dai Haudalah, dari Said bin Mutsayyab. Siapa sahabat nabi yang meriwayatkan hadits itu kepada Said bin Mutsayyab, tidaklah disebutkan dalam sanad diatas.
Kebanyakan ulama memandang hadits mursal sebagai hadits dhaif dan tidak diterima sebagai hujjah, tetapi sebagian kecil ulama, termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hambal dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah bin rawinya adil.
Jadi, hadits mursal adalah hadits yang dalam sanadnya tidak menyebutkan sahabat Nabi, sebagai rawi yang seharusnya menerima langsung dari Rasulullah.
Abdullah bin Abu Bakr adalah seorang tabi’iy, sedang seorang tabi’iy tidak semasa dan tidak bertemu dengan Rasulullah SAW, Jadi semestinya Abdullah menerima riwayat itu dari orang lain atau shahaby. Karena ia tidak menyebut nama shahaby atau orang yang mengkhabarkan kepadanya itu, tetapi ia langsungkan kepada Rasulullah SAW, maka seperti ini dinamakan hadits mursal.
Kebanyakan Ulama memandang hadits mursal ini sebagai hadits dhaif, karena itu tidak bisa diterima sebagai hujjah atau landasan dalam beramal. Namun, sebagian kecil ulama termasuk Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan Ahmad bin Hanbal, dapat menerima hadits mursal menjadi hujjah asalkan para rawi bersifat adil.



4)    Hadits mu’dhal

Hadits mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berturut-turut.
Menurut bahasa, hadits mudal berarti hadits yang sulit dipahami. Para ulama member batasan hadits mudal adalah yang gugur dua orang rawinya atau lebih secara beriringan dalam sanadnya. Contohnya: Hadits mudal adalah hadits Imam Malik, hak hamba dalam kitab al-Muwata’. Dalam kitab tersebut, Imam Malik berkata:”Telah sampai kepadaku, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW. Bersabda:
لِلْمُلُوْ كِ اطَعَا مُهُ وَكِسْوَ تُهُ بِا لْمَعْرُوْفِ. (رواة ما لك)
Artinya: “Budak itu harus diberi makanan dan pakaian secara baik.” (HR. Malik).
Imam Malik, dalam kitabnya itu, tidak menyebut dua orang rawi yang beriringan antara dia dengan Abu Hurairah. Dua orang rawi yang gugur itu diketahui melalui riwayat Imam Malik diluar kitab al-Muwata’. Malik meriwayatkan hadits yang sama, yaitu ”Dari Muhammad bin Ajlan, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah”. Dua rawi yang secara beriringan adalah Muhammad bin Ajlan dan ayahnya.


5)    Hadits mudallas

Hadits mudallas adalah hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits tersebut tidak bernoda.Orang yang melakukan tadlis(perbuatannya) disebut mudallis dan haditsnya disebut hadits mudallas.
ان يروي الراوي عن شيخه الذي لقيه وسمع منه مالم يسمع منه,بصيغة تحمل السماع كعن او قال
Apabila seorang periwayat meriwayatkan (hadis) dari seorang guru yang pernah ia temui dan ia dengar riwayat darinya (tetapi hadis yang ia riwayatkan itu) tidak pernah ia dengar darinya, (sedang ia meriwayatkan) dengan ungkapan yang mengandung makna mendengar, seperti “dari” atau “ia berkata”
Contoh; Hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/289,303), Abu Dawud (5212), at-Tirmidzi (2727) dan Ibnu Majah (3703) dengan jalan;
عن أبي إسحاق عن البراء بن عا زب قال:قال رسول الله صلى عليه وسلم : ما من مسلمين يلتقيان فيتصا فحان  إلا غفرلهما قبل أن يتفرقا
Dari Abu Ishaq, dari al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Tidakah dua orang muslim yang saling bertemu lalu berjabat tangan melainkan Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka berdua sebelum mereka berpisah.

B.)    Dhoif karena tidak ada syarat adil

1)    Hadits maudhu’

Hadits maudhu’ adalah hadits yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta baik sengaja maupun tidak.
ما كان رواته كذاب اومتنه مخالفا للقواعد
Apabila rawinya pendusta atau matannya menyelisihi qaidah [agama].

Penjelasan :
Rawinya pendusta, maksudnya salah satu rawinya, atau sebagian di antara rawinya dianggap dusta dalam meriwayatkan hadis.
Menyelisihi qaidah maksudnya qaidah syara’ yang telah ditetapkan di dalam kitabullah dan sunnah yang sahih
Misalnya; hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Tarikh al-Baghdad, (5/297) dari jalan
محمد بن سلمان بن هشام؛ حدثنا وكيع؛عن ابن أبي ذئب؛عن نافع؛عن عبد الله بن عمر رضي الله عنه قال :قال رسول الله صلى عليه وسلم: لما أسرى بي إلى السماء: فصرت إلى السماء الرابعة سقط في حجري تفاحة؛فأخذتها بيدي؛فانفلقت فخرج منها حوراء تقهقه؛فقلت لها: تكلمي؛ لمن أنت ؟ قالت للمقتول شهيد ا عثمان 
Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, Waki’ mengajarkan hadis kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, ketika Allah mengisra’kan aku ke langit, aku memasuki langit keempat, punggungku kejatuhan buah apel, lalu ia kuambil dengan tanganku, lalu merekah, dari buah itu keluar bidadari tertawa terbahak-bahak lalu aku tanya ia, “Jawablah, untuk siapakah kamu diciptakan?” bidadari itu berkata; “Untuk yang terbunuh sebagai syahid, yaitu Usman”.
Hadis ini maudlu’, di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, al-Khathib al-Baghdadi menyatakan bahwa ia telah memalsukan hadis, dan adz-Dzahabi mendustakannya di dalam Mizan al-I’tidal (3/57). Ibnu Adi berkata, “Dia menyambungkan hadis dan mencurinya”.

Hukum meriwayatkan hadis maudlu’

Meriwayatkan hadis maudlu’ hukumnya haram, kecuali untuk memberi contoh. Kalaupun mengeluarkannya, harus disertai illahnya dan penjelasan tentang kepalsuannya, karena dikhawatirkan akan diamalkan oleh orang yang tidak tidak mengetahui kepalsuannya.
Hadis maudlu’ banyak terdapat dalam kitab ar-Raqaiq (kehalusan hati), at-Tarhib wa at-Targhib. Mengamalkan hadis maudlu’ tidak diperbolehkan meskipun sebatas untuk fadha-il al-A’mal. Boleh mengamalkan kandungan hadis maudlu’ apabila bersesuaian dengan salah satu dasar syari’ah. Apabila ada kesesuaian, maka mengamalkannya harus dilandaskan pada dasar syari’ah itu, bukan karena hadis maudlu’. Mengamalkan hadis maudlu’ akan membuka peluang bagi munculnya bid’ah, baik dalam aqidah maupun dalam hukum-hukum fiqh.


2)    Hadits matruk

Hadits matruk adalah hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang tertuduh dusta(terhadap hadits-hadits yang diriwayatkannya) atau tampak kefasikannya baik pada perbuatan atau pada perkataanya,atau orang yang banyak lupa atau banyak ragu.
هوا لحديث الذي يكون أحد رواته متهما با لكذب
Yaitu hadis yang salah seorang rawinya tertuduh berdusta

Sebagian ahli hadis mempersyaratkan bahwa matannya harus bertentangan dengan dasar-dasar Islam yang telah dikenal. Tetapi pendapat itu bukanlah suatu hal yang lazim, karena andaikata harus demikian maka tidak ada lagi orang yang dijauhi, sehingga hadisnya tetap sahih. Terlebih lagi apabila hadis tersebut diriwa-yatkan secara munfarid (seorang diri) oleh rijal yang muttaham (tertuduh berdusta)” tanpa diikuti dengan adanya tabi’ seorang pun.
Contohnya; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dun-ya di dalam Qadla’ al-Hawaij (no. 6) dengan jalan melalui;
جويبربن سعيد الأزدي ؛ عن الضحاك ؛ عن ابن عباس عن البي صلى الله عليه وسلم : عليكم باصطناءا لمعروف فإنه يمنع مصارع السوء ؛ وعليكم بصدقة السر فإنها تطفئ غضب الله عز وجل
Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy, dari Dhahak, dari Ibnu Abbas dari Nabi sae, beliau bersabda; Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian yang buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena sedekah tersembunyi akan memadamkan murka Allah swt.
Di dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy. an-Nasa’i Daruquthni, dll. mengatakan bahwa hadisnya ditinggalkan (matruk). Ibnu Ma’in berkata, “Ia tidak ada apa-apanya”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya) ini berarti ia tertuduh berdusta.

Catatan;
Sebagian rawi memiliki istilah lain untuk menyebut hadis matruk. Ada di antara mereka yang menyebutnya dengan nama mathruh (terbuang), ada pula yang menyebut wah (lemah) dan lain-lain. Terlepas dari semua itu, hadis dengan kualitas rawi seperti ini kedudukannya berada di bawah hadis dla’if yang kedha’ifan ringan. Tertapi hadis ini masih lebih tinggi derajatnya daripada hadis maudlu’. Allahu A’lam.


3)   Hadits munkar

Sedangkan hadits munkar adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang yang lemah (perawi yang dhoif) yang bertentangan dengan periwayatan orang yang lebih terpercaya.

هوا حديث الذي ينفرد بروايته الراوي الضعيف؛ أوما يخالف به من هو أقوى منه
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if, atau hadis itu bertentangan dengan periwayat yang lebih kuat.

Penjelasan Definisi

Diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if; Maksudnya, adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if dari segi hafalannya, tanpa diikuti dengan riwayat dari orang yang lebih kuat, atau yang setingkat apabila kedla’ifannya ringan.
Bertentangan dengan periwayat yang lebih kuat; dari segi akurasinya. Dengan demikian periwayat itu meriwayatkan hadis dalam bentuk yang berbeda dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang lebih kuat, baik perbedaan dalam sanad atau matan
Contoh; hadis yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (1/191,195), Bukhari dalam at-Tarikh al-Kabir (4/2/88) an-Nasa’I (4/158), Ibnu Majah (1321) al-Bazzar di dalam Musnad, Ibnu Syahin di dalam Fadla-il Syahr Ramadhan (28) dengan jalan dari an-Nadlr bin Syaiban
حدثنا النضر بن شيبان؛قال : قلت لأبي سلمة بن عبد الرحمن؛حد ثني بشئ سمعته من أبيك سمعه أبوك من رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ليس بين أبيك وبين رسول الله صلى الله عليه وسلم أحد في شهر رمضان؛قال: نعم؛ حدثني أبي؛قال:قال رسول الله صلى الله وسلم: إن الله تبارك وتعال فرض صيام رمصان عليكم؛ وسننت لكم قيامه،؛فمن صا مه وقامه إيمانا واحتسابا خرج من ذنوبه كيوم ولدته أمه



Telah menceritakan kepada kami an-Nadlr bin Syaiban, ia berkata: Aku berkata kepada Abu Salamah bin Abdurrahman, Ceritakan kepadaku hadis yang engkau dengar dari ayahmu, yang telah dia dengar dari Rasulullah saw secara langsung, yang tidak ada orang lain di antara ayahmu dengan Rasulullah saw pada bulan Ramadhan; Ia menjawab, Ya, telah menceritakan kepadaku ayahku, Rasulullah saw bersabda” Sesungguhnya Allah azza wa jalla mewajibkn kalian berpuasa pada bulan Ramadhan, dan aku sunnahkan bagi kalian qiyam pada malam harinya. Maka barangsiapa yang berpuasa, dan mendirikan dengan penuh keimanan dan perhitungan, maka akan keluar darinya dosa-dosa seperti hari ketika ia dilahirkan oleh ibunya

Pada sanad ini ada rawi yang bernama Nadlr bin Syaiban. Dia adalah rawi yang dla’if. Dalam periwayatan hadis ini pun terjadi kesalahan, yaitu ketika ia meriwayatkan hadis dari Abu Salamah dengan ungkapan bahwa Abu Salamah mengatakan, “Ayahku telah menceritakan kepadaku …”
Para ahli hadis menyatakan bahwa Abu Salamah tidak pernah mendengarkan hadis dari ayahnya. Inilah segi kemunkaran yang pertama.

CATATAN
Dalam bab ini kita perlu memperhatikan beberapa catatan penting…
Pertama; Ketika kita menjelaskan definisi munkar, kita sebutkan bahwa ia adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang diri periwayat yang dla’if karena hafalannya, Pada hakekatnya inilah yang biasanya terjadi. Tetapi sebagian ulama’ telah memasukkan tokoh yang dicela karena moralnya (keadilannya) sebagai munkar. Karena itu engkau dapati banyak para imam terdahulu menyebut hadis maudlu’ dengan nama munkar, karena pembedaan antara munkar dan maudlu’ ini terjadi pada ulama’ mutaakhkhirin.

Kedua; Sebagian ahli hadis menyatakan tentang munkarnya hadis gharib, lalu mengatakan “Ini adalah hadis gharib, maksudnya adalah hadis munkar, sedangkan kata munkar digunakan untuk mengistilahkan hadis maudlu’.

Ketiga; kemunkaran itu tidak hanya berada pada sanad saja, tetapi juga terjadi pada matan. Bentuknya, rijal yang siqah meriwayatkan suatu hadis dengan teks tertentu, dan ada rijal dla’if yang meriwayatkan hadis dengan teks yang lainnya, seperti telah dicontohkan pada hadis dari an-Nadlr bin Syaiban.


C.)    Dhoif karena tidak ada dhobit

1)    Hadits mudraj

Hadits mudraj adalah hadits yang menampilkan (redaksi) tambahan,padahal bukan (bagian dari) hadits.
Hadist ini memiliki pengertian hadits yang dimasuki sisipan, yang sebenarnya bukan bagian dari hadits itu. Contoh :
 “Barangsiapa yang banyak shalatnya di malam hari maka baiklah wajahnya di siang hari”
Asal dari kisah tersebut adalah bahwa Tsabit bin Musa datang kepada Syarik bin Abdullah al-Qadhi yang sedang mendikte hadits. Dia berkata : “A’masy telah menceritakan kepada kami dari Abu Sufyan dari Jabir, beliau berkata : Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :…, Syarikpun diam agar haditsnya ditulis. Pada waktu dia melihat Tsabit diapun berkata : “Barangsiapa yang banyak shalatnya di malam hari maka baiklah wajahnya di siang hari”. Yang ia maksudkan adalah Tsabit karena kezuhudan dan kewaraannya. Namun Tsabit mengira bahwa perkataan itu adalah matan dari sanad tadi, maka iapun meriwayatkan hadits tersebut sesuai dengan yang ia dengar.

2)    Hadits maqlub

Hadits maqlub yaitu hadits yang lafaz matannya tertukar pada salah seorang perawi pada salah seorang perawi atau seseorang pada sanasnya. Kemudian didahulukan dalam penyebutannya,yang seharusnya disebut belakangan atau mengakhirkann penyebutannya,yang seharusnya di dahulukan atau dengan diletakkannya sesuatu pada tempat yang lain.
Menurut bahasa, berarti hadits yang diputarbalikkan. Para ulama menerangkan bahwa terjadi pemutarbalikkan pada matannya atau pada nama rawi dalam sanadnya atau penukaran suatu sanad untuk matan yang lain.
Contoh :
tukar-menukar yang terjadi pada matan, ialah hadits Muslim dari Abu Hurairah r.a.:
 “…dan seseorang bersedekah dengan suatu sedekah yang disembunyikan, hingga tangan kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan eloh tangan kirinya.”
Hadits ini terjadi pemutar balikkan dengan hadits riwayat Bukhari atau riwayat Muslim sendiri, pada tempat lain yang berbunyi:
“Hingga tangan kirinya tak mengetahui apa-apa yang dibelanjakan

3)    Hadits mudhtharib

Hadits mudhtharib adalah hadits yang diriwayatkan dengan periwayatannya yang berbeda-beda padahal berasal dari satu perawi(yang meriwayatkan),dua atau lebih atau dari dua perawi atau lebih yang berdekatan(dan tidak bisa ditarjih).

4)    Hadits mushahhaf dan hadits muharraf

Hadits mushahhaf adalah hadits yang perbedaannya(dengan hadits riwayat lain) terjadi karena perubahan titik kata, sedangkan bentuk tulisannya tidak berubah.

Sedangkan hadits muharraf adalah hadits yang perbedaannya terjadi disebabkan karena perubahan syakal kata dengan masih tetapnya bentuk tulisannya.


D.)    Dhoif karena kejanggalan dan kecacatan

1)    Hadits syaz

Hadits syaz adalah hadits yang diriwayatkan oleh orang maqbul,aka tetapi bertentangan (matannya) dengan periwayatannya dari orang yang kualitasnya lebih utama.
ما خالف فيه الموصوف بالضبط من هو أضبط منه؛ أوما انفردبه من لا يحتمل حالة قبول تفرده
Adalah apabila hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang bersifat dlabit menyelisihi rawi yang lebih dabith darinya, atau apabila hadis diriwayatakan seorang diri oleh rawi yang tidak ada kemungkinan dapat dapat diterima riwayatnya secara kesendirian


Penjelasan Definisi
Rawi yang bersifat dlabith adalah rawi yang hadisnya dapat diterima baik karena ia siqah hafidh, siqah, siqah yukhthi’, atau shaduq hasan al-hadits
Rawi yang lebih dlabith; yaitu rawi yang tingkatnya lebih tinggi dari rawi pertama dari segi kedlabithannya. Iistilah Siqah lebih tinggi dari shaduq. Rawi yang dinyatakan siqah oleh Ibnu Ma’in, Ahmad, Nasa’i dan Abu Hatim lebih tinggi kedudukannya daripada rawi yang dinyatakan siqah oleh Ibnu Ma’in dan an-Nasa’i saja. Siqah hafidh lebih tinggi dari pada siqah saja. dan seterusnya.
Hadis yang dibawakan oleh rawi yang siqah apabila ia riwayakan seorang diri dengan matan yang munkar. Atau bersendiri dengan hadis dari seorang hafidh besar tetapi tidak diikuti oleh murid-murid yang lainnya.

2)    Hadits mu’allal

Hadits mu’allal adalah hadits yang diketahui ‘illatnya setelah dilakukan penelitian dan penyelidikan meskipun pada lahirnya telah tamoak selamat(dari cacat) coontoh hadits mu’allal:
‘’si penjual dan si pembeli boleh memilih selama belum berpisahan’’

II.    Dhoif pada segi matan

Para ahli hadits memasukkan ke dalam kelompok hadits dhoif dari sudut penyandarannya ini adalah hadits mauquf dan hadits maqhthu’.

1)    Hadits mauquf

Hadits mauquf adalah hadits yang diriwayatkan dari para sahabat baik berupa perkataan,perbuatan,atau taqrirnya. Periwayatannya baik bersambung atau tidak.
2)    Hadits maqthu’

Hadits maqthu’ adalah hadits yang diriwayatkan dari tabi’in dan disandarkan kepadanya,baik perkataan maupun perbuatannya. Dengan kata lain bahwa hadits maqthu’ adalah perkataan atau perbuatan tabi’in.
3)   Hadits mubham
المبهم من لم يسم في السند من الرواة


Yang dinamakan Mubham adalah; Rawi yang tidak disebutkan namanya di dalam sanad.
Contohnya, hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam as-Sunan (3790) dengan jalan
عن الحجاج بن فرافصة عن رجل عن أبي سلمة عن أبي هريرة رفعاه جميعا قال قال رسول الله صلى اللهم عليه وسلم المؤمن غر كريم والفاجر خب لئيم
dari al-Hujjaj bin Farafshah, dari seseorang, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Mu’min itu sopan lagi mulia, dan pendosa penipu lagi keji
Rawi di dalam sanad yang dinisbatkan kepada negerinya, pekerjaan, atau penyakit, juga termasuk mubham.

Hukum Hadis Mubham
Hadis Mubham hukumnya sama dengan hadis Majhul ‘ain, karena periwayatnya tidak dikenal, pribadinya dan keadaannya sehingga hadisnya tidak dapat diterima dan digunakan sebagai argumen, kecuali dapat diketahui siapa orang yang dimubhamkan itu. Apabila ia telah diketahui, maka dapat dinilai hadisnya sesuai dengan kaidah-kaidah penilaian hadis. Tetapi apabila yang dimubhamkan itu sahabat, maka tidak berpengaruh apa-apa karena semua shahabat itu adil.

Mubham matan.
Kadang-kadang mubham terdapat di dalam matan, hal ini tidak mempengaruhi kesahihan hadis, karena penyebutan rawi secara mubham tidak terdapat pada sanad.



 
D.    Kehujjahan hadits dhoif

Hadits dhoif ada kalanya tidak bisa ditolerir kedhoiffannya misalnya karena kemaudhu’annya, ada juga yang bisa tertutupi kedhoiffannya(karena ada faktor yang lainnya). Untuk yang pertama tersebut, berdasarkan kesepakatan para ulama hadits, tidak diperbolehkan mengamalkannya baik dalam penetapan hukum-hukum,akidah maupun fadhail al ‘amal.

Sementara untuk jenis yang kedua dalam hal kehujjahannya hadits dhoif tersebut ,ada yang berpendapat menolak secara mutlak baik unuk penetapan hukum-hukum,akidah maupun fadhail al ‘amal  dengan alasan karena hadits dhoif ini tidak dapat dipastikan datang dari Rosulullah SAW. Di antara yang berpendapat seperti ini adalah imam al Bukhari,imam muslim, dan Abu bakr abnu Al ‘Araby.

Sementara bagi kelompok yang membolehkan beramal dengan hadits dhoif ini secara mutlak adalah imam Abu Hanifah, An-Nasa’i dan juga Abu dawud. Mereka berpendapat bahwa megamalkan hadits dhoif ini lebih disukai dibandingkan mendasrkan pendapatnya kepada akal pikiran atau qiyas. Imam ibnu Hambal,Abd Al-Rahman ibn Al-Mahdy dan Abdullah ibn Al mubarak menerima pengalaman hadits dhoif sebatas fadhail al ‘amal saja,tidak termasuk urusan penetapan hukum seperti halal dan haram atau masalah akidah.

Al-Qasiny memaparkan pendapat-pendpat ulama hadits yang lain tentang penerimaan terhadap hadits dhoif ini, yang juga tidak jauh berbeda dengan pemaparan di atas. Misalnya, ia mengutip pendapat ibnu Sholeah bahwa ia sendiri dalam kitabnya yang biasa dikenal ‘’Muqaddimah Ibnu Al-Sholah’’ tidak banyak mengulas tentang hal ini, selain kata ‘’hendaknya tentang fadhail dan semisalnya’’. Sementara Ibnu Hajar mengemukakan tiga syarat yang harus ada pada hadits dhoif yang bisa diterima dan diamalkan,yaitu: 
  • pertama, tingkat kelemahannya tidak parah: orang yang meriwayatkan bukan termasuk pembohong atau tertuduh berbohong atau kesalahannya abanyak.
  • Kedua, tercakup dalam dasar hadits yang masih dibenarkan atau tidak bertentangan dengan hadits yang shohih(yang bisa diamalkan), ketiga, ketika mengamalkannya tidak seratus persen meyakini bahwa hadits tersebut benar-benar datang dari Nabi SAW,tetapi maksud mengamalkannya semata-mata untuk ikhtiyath

Sementara As-Suyuti sendiri cendrung membolehkan beramal dengan hadits dhoif termasuk dalam masalah hukum dengan maksud ikhtiyath. Ia mendasarkan pada pendapat Abu Daud, Iama ibn Hambal yang berpendapat bahwa itu lebih baik dibanding menggunakan akal atau rasio atau pendapat seseorang.
E.    Kitab-kitab yang memuat hadits dhoif
Kitab-kitab yang memuat dan membahas hadits dhoif diantaranya adalah sebagai berikut:
  • Kitab ad-dlu’afa karya ibnu hibban,kitab ini memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif.
  • Kitab Mizan-al-i’tidal karya adz-Zahabi,karya ini juga memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif
  • Kitab al-Marasil karya Abu Daud yang khusus memuat hadits-hadits dhoif.
  • Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni,juga secara khusus memaparkan hadits yang menjadi dhoif karena perawinya yang dhoif















BAB III
PENUTUP
Hadits Dhaif

A.    Kesimpulan

  1. Hadits dhoif merupakan hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shohih dan syarat-syarat hadits hasan. Hadits dhoif ini memilki penyebeb mengapa bisa tertolak di antaranya dengan sebab-sebab dari segi sanad dan juga dari segi matan.
  2. Kriteria hadits dhoif adalah karena sanadnya ada yang tidak bersambung,kurang adilnya perawi,kurang dhobiyhnya perawi dan Ada syadz dalam hadits tersebut.
  3. Hadits dhoif terbagi menjadi beberapa kelompok baik itu yang didasarkan pada pembagian berdasarkan sanad hadits atau juga matan hadits.
  4. Dalam menyikapi penerimaan dan pengamalan hadits dhoif ini terhadi khilafiah di kalangan ulama,ada yang membolehkannya dan ada juga yang secara mutlak tidak membolehkan beramal dengan hadits dhoif tersebut.
  5. Kitab yang memuat hadits dhoif adalah  Mizan-al-i’tidal karya adz-Zahabi,Kitab ad-dlu’afa karya ibnu hibban, Kitab al-Marasil karya Abu Daud, Kitab al-‘ilal karya ad-Daruquthni.














DAFTAR PUSTAKA


      ·         Prof. Dr. Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ulumul Hadits, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
·        Prof. Dr. Muhammad Ahmad, Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadits, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000.
·        Prof.Dr.Muhammad Alawi Al-Maliki (guru besar masjidil haram),Ilmu ushul Hadis,jakarta; Gaya media pratama.2003
·        Amr Abdul Mun'im Salim,Tafsir ulumul Hadis,Maktabah Ibnu Taymiyah, Kairo, Mesir, 1417 H – 1997 M.
·        Alwi Al-Maliki. Muhammad, Ilmu Usul Hadits, Yugyakarta; Pustaka pelajar. 2006.
·        Ahmad. Muhammad. M. Mudzakir, Ulumul aHadits, Bandung; CV. Pustaka Setia. 2006.
·        Drs.M.Agus Solahuddin,M.Ag,Agus Suyadi,Lc.M.Ag.Ulumul Hadis,Bandung; CV. Pustaka setia.2008.



















CATATAN KAKI :
[1][2] Prof. Dr. Muhammad Ahmad, Drs. M. Mudzakir, Ulumul Hadits, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), cet. II, h. 147-151.
[1] Endang soetari.ilmu hadits kajian riwayah dan dirayah.Bandung:mimbar pustaka.2005 hlm 141.
[2] Rahman ,fatchur.Ikhtisat Musthalah Alhadits.Bandung: Al-maarif.1974.hlm218
[3] Muhammad ‘Ajjaj Al-khatib. Ushulul Al-Hadits ‘.Ulumuhu wa mustahaluhu. Kairo: Dar Al-Fikr. 1989 hlm 277























Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates